"Ayo,kita masuk!"
"Memang tidak takut?"
Nirwan tak sengaja mendengar percakapan dua perempuan berjilbab di belakang. Dua perempuan yang menengadah pada bangunan dengan dinding triplek berlukiskan makhluk buruk rupa dengan lidah mereka yang panjang. Makhluk buruk rupa itu tidak sendirian. Kuntilanak, tuyul, pocong dan ular berkepala manusia ikut menampakkan diri. Orang-orang menyebutnya "Puri Setan", tempat untuk uji nyali yang terkesan tak bermutu. Tapi, selalu jadi yang utama dan paling ditunggu pada pesta rakyat tahunan Mappandretasi. "Kamu sudah tahu bahwa hantu Puri Setan adalah sebenar-benarnya tempat hantu jadi-jadian. Mereka para manusia yang dibayar untuk berpura-pura menjadi hantu dan bertugas menakut-nakuti. Lalu, kenapa masih mau membayar dan masuk ke dalam sana dan ketakutan pula? Andai kamu masuk dan merasa tidak takut, maka saat itulah kamu akan protes. Jadi, kesimpulannya, kamu hanya ingin membeli ketakutan saja. "Tidakkah itu terdengar bodoh?" batin Nirwan. Asap rokok mengepul. Tidak ada hal berarti yang singgah di pikirannya. Telinganya terkunci untuk keriuhan yang dibuat oleh grup musik yang barusan tampil di panggung dengan tiga layar LCD besar. Ratusan orang hilir mudik tak lebih seperti debu yang berterbangan. Yang tak akan membuatnya peduli, apakah mereka ada atau tidak.
Kecuali itu. Ya. Kecuali itu. Satu dari dua perempuan berjilbab menarik perhatiannya. "Marlin," sebutnya ragu.
"Ayo, Mbak! Temani?" yang lebih muda menarik paksa orang yang dicurigai Nirwan sebagai Marlin, teman masa kecilnya. Juga mantan pacar berdasarkan versi Nirwan tanpa ada pernyataan bahwa mereka pernah pacaran.
Setelah dua perempuan itu melewati pintu masuk yang hanya ditutup dengan kain hitam, permainan dimulai. Para hantu bersiap, satu per satu akan menampakkan diri. Termasuk Nirwan, dia cukup berpengalaman sebagai hantu-hantuan. Itu adalah pekerjaan sambilannya setiap tahun sejak di kelas lima SD. Meskipun sekarang kondisinya berbeda. Ada ID Card di dadanya yang bertuliskan PANITIA. Sudah dua tahun ini ia menjadi pegawai tidak tetap di dinas pariwisata. Dan tahun ini, posisinya cukup penting untuk memastikan keberhasilan acara adat Mappandretasi yang selalu diembel-embeli hari jadi Kabupaten Tanah Bumbu.
Nirwan meminjam topeng dari salah satu hantu di sana. Topeng dengan bulu berwarna putih dan bentuk mulut yang menganga. Tidak terlalu jelas apa bentuknya. Tempat itu terlalu gelap. Nirwan punya cara untuk menjadikan malam itu lebih menarik, yakni dengan menyorotkan cahaya senter ke wajah sendiri dan muncul tiba-tiba di hadapan para perempuan berjilbab.
"Akhhh!"
"Teriakannya masih sama," batin Nirwan. Ia semakin yakin bahwa perempuan itu adalah Marlin. Buru-buru ia melepas topeng dan tertawa. "Masak segitu aja takut?" katanya merasa puas.
Marlin memandangi Nirwan tanpa ekspresi. Kemudian, tawa Nirwan memelan, lalu menghilang, "Kamu lupa ya sama aku?" Nirwan tiba-tiba merasa canggung.
"Dasar jahat!" tas tangan dilayangkan. Badan Nirwan jadi sasaran. "Tidak punya kerjaan kau, ya? Selalu menakuti orang?"
"Iya, maaf!" sebut Nirwan berkali-kali diiringi dengan desisan kesakitan. "Ampun! Tolong ampuni aku!" Nirwan terpaksa menangkap tas tangan Marlin. Jika tidak, luka lebam mungkin saja dideritanya.
Marlin tersenyum. Tatapannya penuh pada Nirwan.