Suatu hari di bulan Juli. Hari pertama di tahun ajaran baru. Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada duduk sebangku dengan orang yang tidak diinginkan, apalagi tidak dikenal. Otoritas wali kelas mengalahkan segalanya. Saat itu, Marlin yang masih kelas lima, sudah merasa heran kenapa gurunya menempatkan murid perempuan sebangku dengan murid laki-laki. Mungkin benar, perang terjadi jika laki-laki duduk sama laki-laki. Dan gosip merajalela jika perempuan duduk bersama perempuan. Tapi, murid laki-laki dan perempuan didudukkan bersama, juga tidak menjamin kelas lebih tenang.
Marlin tidak tahu namanya dan tidak pernah melihat anak itu sebelumnya. Anak laki-laki dengan kulitnya yang berwarna kecoklatan. Ia menelungkupkan kepala di atas meja seperti sedang tertidur. Di dekatnya, ada buku tulis yang penuh dengan coretan tidak berarti dan satu lambang bertuliskan "Slank" yang digambar dengan pulpen bertinta biru. Marlin tahu itu nama sebuah band yang asing terdengar di kampung mereka. Atau Marlin yang sebenarnya tidak terlalu peduli pada hal berbau musik. Ia pernah mendengar beberapa lagu yang bagus diputar di televisi di rumahnya. Musik berbahasa melayu yang terdengar mendayu.
Dengan wajah cemberut, Marlin mengempaskan tasnya ke atas meja. Setengahnya ingin mengejutkan anak laki-laki yang sedang tertidur, yang akan menjadi teman sebangku, setidaknya untuk satu semester. Ia kira, ia bernasib sial hari itu. Duduk di bangku barisan ke-2 dari belakang, dan belakangan Marlin tahu bahwa teman sebangkunya adalah anak yang tinggal kelas karena sering bolos. Mungkin karena sering bolos itu juga Marlin jadi tidak pernah melihatnya. Nirwan membuat Marlin merasa semakin jengkel, itulah kesan pertama yang didapat Marlin di pertemuan pertama mereka.
"Aaaaaaaaaaaaa! Iiiiiiiiiiiii! Uuuuuuuuuuuu! Oooooooooooo!" sulit menggambarkan bagaimana ributnya kelas waktu itu. Di jam setelah jam istirahat, di saat wali kelas belum juga datang. Suara anak-anak membaur menjadi suara yang tidak dipahami maknanya. Dan luar biasanya, orang di sebelah Marlin bergeming. Matanya tetap terpejam, hanya beberapa kali menggeliat untuk memperbaiki posisi punggung yang pasti akan sakit.
Dan ketika wali kelas datang, waktu seolah terhenti. Suasana jadi menegangkan. Untuk beberapa detik, anak-anak kelas 5B sudah siap di kursi masing-masing, sambil berdiri, mereka mengucapkan, "Selamat siang, Pak Guru!"
Marlin menendang-nendang kaki orang di sebelahnya. Tentu saja, semua anak seharusnya berdiri, dan tidak boleh duduk sebelum Pak Guru mempersilakan.
"Apaan sich?" reaksi Nirwan samasekali tidak berguna. Setelah sejenak terbangun, orang itu kembali tertidur dengan kepala yang disandarkan ke dinding.
Apa yang dikhawatirkan Marlin sejak Pak Sazali tidak mempersilakan anak-anak duduk segera, akhirnya terjadi. Kapur tulis melayang di udara dan mengenai kepala Nirwan.
Nirwan mengaduh sambil mengusap-usap kepala, sementara anak-anak lain menertawakannya.
"Duduk semuanya! Kita mulai pelajaran!" perintah Pak Sazali.
<>
"Senja-senja kok melamun! Hati-hati lo, ntar kesambet!"
Marlin tersentak mendengar ada yang berbisik kepadanya.
"Lagi mikirin apa?" tanya Nirwan yang akhirnya menampakkan diri di hadapan Marlin. Diantara cahaya langit yang mulai memudar dan di antara helaian rambut yang tertiup angin, yang terkesan mengusik dirinya sendiri.
Marlin memalingkan wajah ke gambar yang ada di Monumen Benteng Perjuangan 7 Februari, itu akan mengingatkan mereka pada pejuang yang gugur pada tanggal itu dan dimakamkan di taman makam pahlawan yang lokasinya tidak jauh dari sana. Marlin tiba-tiba merasa sedih sendiri. Antara hidup dan mati yang tidak diketahui, mana yang lebih baik.
"Tidak seharusnya aku kemari!" lirihnya berjuta-juta kali. Tapi, ia tetap menziarahi tempat itu. Seluruh samudra yang menelan puteranya tiga tahun lalu. Jika ia merindukan Sabil, maka Marlin akan berjalan ke dermaga dan menatap luas pada laut yang terlihat tenang. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa.
"Kukira tadi kamu mencariku? Akhh, sepertinya aku berbuat salah lagi. Jadi, kamu berubah pikiran?" tanya Nirwan pura-pura tidak mengerti. Nirwan tentu saja pernah mendengar kabar cucu Pak Darmawan yang tenggelam di Pantai Pagatan bulan Desember tiga tahun lalu, anak Marlin. Nirwan tidak akan pernah percaya bahwa Marlin berada bersamanya sekarang. Di pesisir, dengan deruan ombak yang jelas terdengar. Lalu, angin membawa harum laut yang begitu khas. Tidakkah itu mengerikan bagi seseorang yang memilki trauma. Nirwan, melihat itu di mata Marlin sekarang.
Marlin menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
Tidak ada yang Nirwan katakan saat itu. Kakinya menyibak-nyibak pasir sambil sesekali cengar-cengir memperhatikan Marlin yang juga lebih banyak diam. Nirwan akan selalu merasa seperti pungguk merindukan bulan. Tapi, pungguk ini lebih memilih terbang ke sana kemari untuk menikmati cahaya bulan. Daripada harus bertengger semalaman, itu membosankan. Meski hanya untuk satu hari, atau hanya beberapa detik, pungguk akan bersyukur. Perasaan itu tidak berubah, padahal berpuluh tahun telah berlalu.
"Muhammad Nirwan Mega Syarif!" saat Pak Bos Mulyadi memanggil Nirwan tadi. Dia pemilik tempat hiburan puri setan sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Tak jelas dari mana asalnya, pokoknya, setiap tahun acara Mappandretasi, orang itu dan rombongan pasti ambil bagian.
Saat itu Nirwan masih asyik membahas pagelaran yang akan diselenggarakan di malam harinya.
"Ada yang mencari kamu tadi!" sambung Pak Bos.
"Siapa, Bos?"
"Cewek!"