Tanah yang tadinya keras kini mulai tersentuh benih-benih air yang menetes dari langit. Awan menghitam, mengisahkan dentuman petir yang berandu dengan tiupan angin. Pohon-pohon mulai bergoyang, menari-nari menikmati hujan yang telah kembali. Itulah tanda bahwa Oktober telah tiba—membawa musim penuh tangisan dari langit yang ingin berbagi cerita rindu pada semesta.
Seorang gadis berdiri termenung menunggu hujan reda. Tangannya melipat di dada, menghentak-hentakan kaki berharap hujan segera berhenti. Air mulai naik ke permukaan lantai, dan sontak membuat kakinya lebih mundur ke belakang. Hari mulai sore, dan siswa siswi yang lain sudah berlalu lalang pulang--menerobos hujan. Gadis itu tidak mau mengambil resiko hanya untuk pulang lebih awal. Walau sampai malam pun hujan tak kunjung reda, ia akan tetap menunggu hingga tidak ada setetes air hujan pun yang membahasi tubuhnya.
Seorang pemuda baru saja keluar dari kelas teater setelah bersih-bersih di sana. Pemuda itu berdiri seolah sedang menatap langit yang dengan riuhnya tetap mengalirkan butiran-butiar air hujan. Sekilas ia menatap gadis di sampingnya. Pemuda itu seolah tahu kalau gadis di sampingnya tidak pernah menyukai hujan.
"Bulan Oktober adalah bulan rindu, jangan salahkan awan jika kamu membenci hujan."
"Pasti malam nanti tidak ada bulan yang bersinar." Sedih gadis itu.
Pemuda itu terus menatap ke arah gadis yang masih memusatkan pandangan ke depan. "Bulanmu selalu di sini, Bita."
Gadis itu menoleh, mendengar kalimat terakhir dari pemuda itu. "Purnama?" ia terkekeh dengan ucapannya sendiri. "Kamu memang Purnama yang selalu di nanti banyak orang."
"Sabita, apakah kamu masih butuh Bintang?" Tanya pemuda yang tak lain bernama Purnama.
"Bulan Sabit selalu indah 'kan bila selalu bersama dengan Bintang? Ia pasti akan lebih terang," Ujar gadis itu yang menampakkan mata bulat dalam saat bertatapan dengan Purnama. "Kamu harus cari bintangmu yang lain, Purnama. Jangan tunggu bulan Sabit, karena kita sama. Sama-sama bulan, bukan?"