PURNAMA WUNGU

Emil WE
Chapter #1

Prelude

Pukul 20.00

Hujan deras menyapu sejak pukul 3 sore. Angin mengamuk. Kilat halilintar tak henti menyambar. Pohon-pohon rasamala di pinggir jalan meliuk seperti mau patah. Pinus-cemara berdesis-desis. Sekelebat sedan camry warna hitam melaju cepat memasuki jalan berkelok. 

“Sontoloyo cap bangsat! Gelap benar! Ini jalan apa kuburan!!” umpat lelaki botak bertubuh tambun. Matanya perih, gatal sekali karena terus-terusan melotot. Tulang punggung berasa mau putus. 

 “Hadeeehh! Kebelet kencing aku!” Tubuhnya menggigil. Prostatnya ngilu.  

Lampu kabut menyibak kabut tebal bergumpal-gumpal. Berkali-kali lelaki botak berambut sehelai dua helai itu mengumpati keadaan. Apalagi dia mesti waspada. Melewati kelok-kelok pegunungan, jurang di sisi kiri, tebing di sisi kanan, samar-samar bongkahan batu silau tersorot lampu. 

“Gendeng!” umpat Lelaki itu sambil menggebrak setir. Jengkel. Teringat telepon istrinya yang marah-marah sebab kartu kreditnya diblokir sepihak oleh pihak bank. “Dasar sial! Malam-malam begini mesti balik gara-gara masalah sepele!” umpatnya berkali-kali sembari mendecap-decap bibir. Apalagi di tempat gelap itu tak ada satupun berpapasan mobil lain sejak sejam lalu.

Ngeri juga tempat ini! Mirip tempat begal! umpatnya dalam hati. Kelokan-kelokan gelap dengan tebing-tebing batu membuatnya ragu.

“Tapi … hah! Apalah arti ngeri dibanding senyum dan pelukan Jenny,” umpatnya sambil membetulkan pantat yang panas ngilu. Teringat benar harum rambut perempuan simpanannya, janda muda tak beranak yang dikenalnya saat jaring aspirasi di Lumajang. Andai saja sopir gobloknya itu tidak bermulut bocor, barangkali saat ini dia tengah meringkuk hangat di pelukan Jenny yang membuatnya nyaman mirip bayi. Karena itu dia memaki berkepanjangan ketika istrinya mengultimatum agar detik itu juga kembali ke Kediri. Jika tidak terpaksa sangat, mustahil dia berani melintasi jalur selatan Gunung Semeru. Lagipula lelaki itu memilih berangkat malam, lebih memilih menyelesaikan satu ronde bergulat dengan Jenny terlebih dulu di villa pantai selatan. 

“Bedebah!” umpatnya terus-terusan. Bola mata lelaki itu berasa panas terlalu lama melototi jalan.

Tiba-tiba kepala botaknya gatal, seperti digerayangi semut. Tangan kiri lekas menggaruk sembari tangan kanan mengatur sudut kemudi. Kali ini jalan cenderung lurus menanjak. Lelaki berjuang keras mempertahankan kemudi. Tiba-tiba sekali lagi botak kepalanya berasa gatal. Lagi-lagi tangan kirinya mengusap kulit kepala.

“Aneh,” ujarnya. “Bagaimana bisa semut masuk mobil. Pasti sopir goblok itu malas bersih-bersih mobil,” umpatnya.

Lihat selengkapnya