Seperti biasa, pagi di desa ku selalu diwarnai dengan kokokan ayam jantan, cicitan burung-burung yang selalu riang menyambut pagi sambil melompati ranting-ranting pohon, cicitan burung kecil yang sedang di suapi induknya, dan embikan kambing-kambing penggembala yang meminta jatah makan pagi. Hembusan angin pagi yang segar dan jauh dari polusi. Langit timur yang dipenuhi warna oranye ditambah pemandangan hamparan sawah yang hijau, menambah hangat suasana pagi. Para petani yang berjalan menuju sawah dengan cangkul di pundak bersiap untuk memulai pekerjaan nya.
Aku sudah selesai dengan pekerjaanku, membantu pekerjaan mama di rumah. Aku terbiasa melakukan pekerjaan ini sejak kecil. Aku di besarkan oleh kakek dan nenek ku. Sejak aku umur 5 tahun, orangtuaku lebih banyak menghabiskan waktu di perantauan nya. Aku tahu, mereka bekerja untuk ku juga. Untuk makan ku, sekolahku kelak dan lainnya. Nenek selalu menguatkan dan memberi penjelasan yang bisa membuatku mengerti. Di umur sekecil itu, aku mulai belajar mencuci bajuku sendiri. Nenek selalu melarangku, tapi aku tetap melakukan nya. Karena mama selalu menyuruhku untuk belajar mencuci baju sendiri. Mama juga selalu menyuruhku belajar mencuci piring setiap kali menelponku. Mama selalu mengancamku jika aku tak melakukan itu, mama tak mau pulang.
Dari kecil aku dikenal sebagai anak yang tak banyak minta. Biasanya anak-anak se-usiaku selalu merengek minta mainan, sepeda dan lainnya. Berbeda denganku. Aku hanya menerima apa yang diberi orangtuaku. Atau mungkin karena aku tak butuh mainan karena tak ada yang mengajakku main. Berbeda dengan kebanyakan anak lainnya yang bisa bermain dengan orangtuanya. Meski begitu aku bersyukur mempunyai nenek yang sangat sayang padaku. Nenek tak pernah marah ataupun membentak ku. Dia selalu sabar mengasuh dan menghadapiku.
Tepat di usia 7 tahun, aku mulai di sekolahkan di sekolah dasar yang ada di desaku. Dan di umur itu aku di anugerahi adik pertamaku, Dika. Dia lahir dengan sehat tanpa satupun masalah. Bobotnya mencapai angka 4 kg. Wajahnya imut dan menggemaskan. Tak sepertiku dulu. Kata mama, aku lahir tanpa bersuara karena terlilit ari-ari. Bahkan orang-orang mengira aku sudah meninggal. Namun, dokter terus berusaha, hingga aku diangkat dan digantung dalam genggaman tangan dokter itu dengan posisi kepala dibawah. Mencoba mengeluarkan cairan yang memenuhi saluran pernapasanku. Tak lama kemudian, keajaiban itu datang. Aku menangis, mengeluarkan suara. Mama merasa sangat lega. Setahun kemudian, disaat balita normal pada umumnya bisa berjalan di usia 1 tahun, aku tak bisa melakukannya. Kaki ku selalu lemas. Aku sering sakit. Mama menggendongku dan mengobatiku dengan sabar. Namun, ayah tidak. Ayah menganggap aku sebagai anak yang tak berguna. Aku bahkan sempat akan di adopsikan ke orang lain, tapi mama berhasil membujuk ayah walau harus bersujud di kakinya. Di umur 2 tahun, aku baru bisa berjalan. Selain bermasalah pada kaki ku itu, aku mengalami kesulitan dalam berbicara. Dan di usia 3 tahun aku bisa berbicara normal, namun tak bisa menyebutkan huruf "R" dengan benar alias cadel. Kecadelan itu berlangsung hingga aku duduk di kelas 3 SD. Aku mengetahui masa kecilku dari cerita mama. Meskipun banyak sekali ujian dari Tuhan, tapi keajaiban itu selalu menyertaiku.
Lepas dari cerita kecilku yang menyedihkan, di sisi lain aku memiliki keunikan. Sejak usia 3 tahun, tepat nya saat aku mulai bisa berbicara normal, aku sering sakit demam. Tubuhku panas, aku tak punya tenaga untuk beraktivitas. Kakek ku iseng memberiku buah mangga arumanis sebanyak 1 kilogram. Semuanya khusus untuk aku makan sendiri. Kakek tak membolehkan siapapun memakan mangga itu. Keesokan pagi nya, aku bangun dari tidurku dengan tubuh yang bugar. Badanku tak panas lagi, demamku sembuh seketika. Sejak saat itu, setiap kali aku demam aku tak pernah dibawa ke dokter atau diberi obat warung. Mama selalu membelikanku mangga arumanis.