BARU saja satu langkah aku memasuki kelas, aku sudah di kerubuni teman-temanku.
“Lia, lo udah selesai PR?”
“Nis, nyontek dong.”
“Lo ada pena gak Li?”
“Nisa, pinjam tip-ex.”
Aku memutar bola mataku kesal. “Tolonglah, gue baru dateng. Bahkan gue belum lepas tas gue.” Bukannya minta maaf, teman-temanku hanya nyengir kuda mendengar sungutanku. Mereka lalu memberiku ruang untuk berjalan ke bangku. “Emang hari ini ada PR?” Baru saja aku meletakkan tasku, mereka sudah menyambar benda itu. Mereka membuka tasku dan langsung mengambil buku PR dan tempat pensilku. Dasar teman-teman kurang ajar.
“Apaan, lo udah siap gini. Panjang lagi.”
Aku diam beberapa saat berusaha mengingat-ngingat. Oh iya, waktu itu aku langsung kerjakan sepulang sekolah. “Mau gimana lagi. Emang gitu jawabannya.”
Teman yang baru saja protes tentang panjangnya jawaban PR-ku itu adalah temanku sejak kecil. Namanya Arisha Belvina. Kami semua memanggilnya Arisha. Sejak SD sampai sekarang entah bagaimana kami bisa selalu satu kelas. Tapi kami berdua seneng-seneng aja.
“Kalian belum siap?” Tanya temanku, Fiona, yang baru datang. Berkebalikan dari yang barusan ia ucapkan, dia merebut bukuku dari tangan Arisha. “Pinjem bentar.”
Fiona Lamia, temanku yang populer. Dia sebenarnya selalu satu sekolah dengan Arisha dan diriku, tapi kami tidak pernah sekelas. SMA ini pertama kalinya kami sekelas. Dan seperti yang aku bilang sebelumnya, Fiona itu populer. Ada banyak yang suka dengannya kecuali teman sekelas kami, karena mereka sudah tau banget keanehan Fiona. Kepopulerannya tidak berkurang walaupun baru-baru ini dia mulai memakai kacamata yang ia pakai hanya saat pelajaran.
“Bilang orang belum siap, dianya sendiri lihat punya Lia.” Sahut Lara Shiva, temanku yang berkacamata dan hobi membaca novel, sama seperti aku. Namun dia tidak pendiam seperti aku melainkan sebaliknya. Belum lama ini dia juga mulai menyukai drama korea, namun tidak sampai menjadi fan girl seperti beberapa temanku yang lain.
“Tapi gue udah siap sebagian.”
“Tetep aja, sisanya lo juga nyontek Lia.” Sarah Andriani. Teman dekatku yang belum lama ini pindah dan satu-satunya teman dekatku yang memanggil aku Annisa seperti teman sekelasku yang lain. Sarah memang belum lama ini masuk ke kelasku, tapi dalam waktu sebentar dia sudah bisa membiasakan diri di kelas ini. Hal yang aku yakini tidak akan bisa aku lakukan.
“Nyontek itu nyontek aja, gak perlu berisik,” celetukku.
Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Annisa Amala Liandra, biasa dipanggil Lia, tetapi karena dikelas ini ada yang bernama sama, jadi teman sekelasku beserta guru yang lain memanggilku Annisa. Rambutku hitam sepunggung dan biasa aku ikat satu. Badanku berisi tapi tertutupi oleh tinggiku yang melebihi teman cewekku yang lain. Pipiku tembam juga aku memakai kacamata. Hobi membaca dan paling suka warna ungu. Penyendiri dan pendiam, begitulah bagaimana aku menjelaskan diriku. Tapi entah kenapa teman-temanku terkadang tidak menyetujui yang terakhir.
“Lia!” panggil seseorang dari pintu kelas. Saat aku menoleh, telihat Fastia, teman dekatku yang berbeda kelas denganku dan orang yang disebut paling dekat dengan diriku . Kalau kalian berpikir kami ini teman masa kecil kalian salah. Bahkan kami baru mulai mengenal di SMA ini. Tetapi karena kami sangat dekat membuat orang-orang merasa aku lebih dekat dengannya daripada Arisha yang sudah mengenalku sejak SD. Awalnya dia sering ke kelasku karena ada cowok yang ia suka. Sejak kami dekat, dia lebih sering kesini untuk curhat berbagai hal. Tapi bukan berarti dia sering kesini karena dia tidak memiliki teman di kelasnya.
“Gak biasanya lo pagi kesini,” ucapku kepadanya.
“Jesica, dia permisi izin. Berangkat.”
“Verika, Jesica izin,” ucapku kepada sekretaris kelas. “Kok dia permisi sama lo?”