OKE, aku cemburu berat.
Padahal aku kira cukup pagi ini saja. Melihat Lia berusaha menutup mukanya, aku langsung tau kalau dia berusaha menyembunyikan senyumnya. Dan aku sangat yakin lagi penyebab dia senyum-senyum sendiri itu karena Randy. Pasti Lia yakin banget gak ada yang lihat dia senyam-senyum di depan. Mungkin orang lain tidak sadar, tapi ada satu orang yang sadar, yaitu aku. Padahal saat aku tersenyum kepadanya, dia memalingkan muka.
Tapi tidak cukup itu saja, mereka berdua sekarang malah saling bicara dengan akrabnya. Kalau saja bukan karena Elvira, mereka tidak akan seperti sekarang. Karena sejujurnya, bisa dibilang akulah cowok yang paling akrab dengan Lia diantara teman sekelas Elvira yang lain. Dan sejujurnya ini pertama kalinya aku melihat Lia berbicara dengan Randy seakrab itu.
Semua berawal dari seorang guru yang meminta murid-muridnya membawa buku catatan lama dari kelas X. Dan Elvira meminjam buku Lia yang harus adiknya pakai hari ini. Hanya karena Elvira malas pergi ke kelas Lia dan Randy sudah menyelesaikan tugas, dia meminta tolong cowok itu. Aku bisa saja menawarkan diri sebelumnya, tapi karena teman-teman sialan yang terus mengangguku, aku jadi lambat menyelesaikan tugas. Dan sekarang aku hanya bisa menatap dari atas mereka berdua. Coba kalian bayangkan diri kalian menjadi aku. Seorang cowok yang sedang menatap cemburu terhadap cewek incarannya dan cowok yang dia sukai. Pasti kalian juga gak akan suka, tetapi kita gak bisa apa-apa.
“Han, ngapain lo?” Tanya Farel, sohibku. Dia mengikuti arah pandangku dan langsung paham. “Oh, lagi cemburu rupanya.” Farel adalah satu-satunya sohibku yang mengetahui perasaanku pada Lia. Bukan karena aku yang memberitahunya, tapi dianya sendiri yang tahu.
“Lo cemburu lihat dia sama cowok lain, tapi lo gak ada nembak dia atau paling tidak pedekate. Malah ajak berantem terus.”
“Jangan bilang lo lupa kejadian waktu itu.” Kejadian yang aku bahas adalah kejadian sebulan lalu, saat Lia menolak salah seorang cowok seangkatannya yang menembak dirinya.
“Itu karena mereka memang hanya sebatas kenal. Belum dekat udah ajak pacaran. Ditambah lagi dia nembaknya gak keren banget, lewat chat doang.”
Kalau itu gak salah. Aku dengar ceritanya dari orang-orang terdekat Lia. Hari itu Lia berencana pergi bersepeda bersama Mia. Elvira tidak bisa ikut karena ada kerja kelompok. Sampai di rumah Mia, dia mendapati ada pesan masuk. Begitu membukanya, tau-tau ada cowok nembak dia. Padahal mereka berdua belum pernah saling mengirim pesan sebelumnya. Jangankan pesan, saling berbicara empat mata saja tidak pernah. Lia hanya mengetahui nama, muka serta sifat si cowok yang memang terkenal nakal itu. Bahkan sampai ke telinga kami para senior, walaupun kami juga yang suka kepoin junior-junior kami. Pokoknya sama sekali tidak mengherankan kalau Lia menolak cowok itu. Selain itu teman-temannya juga ikut berhenti berhubungan dengan cowok itu setelah tau dia menembak Lia.
“Tapi gue rada kaget juga. Siapa sangka adik Elvira yang pendiam itu bisa bikin lo suka.”
“Kalau boleh membenarkan, Lia sebenarnya bukan pendiam tapi hanya penyendiri. Hanya orang yang tidak akrab dengannya yang akan berpikir dia itu pendiam.”
“Yadeh, lo berdua akrab banget.”
“Tapi maksud lo tadi apa?”
“Lo kan sering pacaran, tapi gak ada satupun hubungan yang lo anggap serius.”
“Setidaknya gue gak pernah mutusin cewek,” ucapku sekaligus menyindir. “Gue juga gak sering pacaran. Baru lima kali doang.”
“Baru 5 kali DOANG,” Farel mendengus dan langsung membuatku sedikit menjaga jarak darinya, takut upilnya juga ikut keluar. “Coba lo bandingin cowok yang udah punya mantan lima dan cewek yang sama sekali gak ada mantan. Jangankan mantan, pacaran aja gak pernah.”
Aku melotot padanya dan langsung tidak berminat lagi pada topik pembicaraan. Jadi aku kembali ke kegiatan sebelumnya, memperhatikan Lia. Dia tidak lagi berbicara dengan Randy melainkan bersama Fastia. Mereka berdua benar-benar akrab. Padahal bukan teman masa kecil ataupun teman sekelas. Bahkan menurutku, Arisha yang sudah mengenalnya sejak kecil saja tidak seakrab mereka.
“Jadi mau turun,” gumamku.
“Yaudah, turun. Susah amat hidup lo,” aku mendelik pada Farel tapi begitu aku mau membalas, salah satu temanku memanggilku.
“Han! Anterin tugasnya ke kantor gih!”
“Kok gue?”
“Soalnya ketua kelas gak dateng.”