KALIAN tau adegan di drama Korea tentang protagonis perempuan yang jatuh di tangga dan ditangkap oleh seorang laki-laki?
Atau bagi kalian yang tidak suka Korea, mungkin adegan seperti itu keluar di film-film atau bahkan sinetron Indonesia. Tapi yang jelas kalian tau kan adegan seperti itu.
Walaupun pernah nonton beberapa drakor, aku bukan pencinta drama-drama itu. Aku juga bukan pecinta sinetron Indonesia—bahkan aku tidak pernah menonton satupun. Tapi adegan seperti ini juga muncul di anime-anime dan juga novel-novel remaja. Dan sebagai pecinta kedua hiburan itu, tentu aku tau banget adegan seperti ini.
Siapa yang menyangka aku akan mengalami hal yang sama seperti si protagonis.
Aku pelan-pelan mengangkat kepalaku, berusaha untuk berterimakasih. Pilihan yang salah, karena setelah menatap muka Farhan aku tidak bisa bersuara. Tidak peduli seberapa keras usahaku, tidak ada suaraku yang keluar. Jarak antara muka kami benar-benar dekat. Jujur saja, sekarang aku respek banget sama para perempuan protagonis dalam cerita-cerita itu.
Beberapa detik kemudian kami masih dengan posisi yang sama. Entah kenapa aku tak bisa memalingkan muka. Mataku hanya terpaku ke mata Farhan dan dapat kulihat pantulan mukaku di matanya. Mungkin karena terbiasa melihat mukaku memakai kacamata, jadi aku merasa mukaku jadi aneh. Atau mungkin juga mukaku beneran jadi aneh.
Kami sama-sama melepaskan diri begitu mendengar langkah kaki mendekat. Dalam hati aku bersyukur sudah lepas. Aku meletakkan tangan di dada dan dapat merasakan detak jantungku. Tanganku yang satu lagi memegang pipi yang terasa hangat. Ya ampun, aku kenapa sih?
Jantung, please tenang.
Sayangnya jantungku gak mau dengerin. Tanpa memandang mukanya aku bergumam mengucapkan terimakasih. Dia membalas sambil bergumam juga. Kami berdua sama-sama saling membelakangi. Serius, itu suasana tercanggung yang pernah aku alami. Terutama bersama Farhan.
Dalam suasana seperti itu, kakakku datang. Sepertinya suara langkah kaki yang kami dengar tadi darinya. “Disini kalian rupanya. Lama banget.” Dengan usaha besar untuk tampang biasa, aku menatap kakakku yang menjadi penyebab utama semuanya terjadi.
“Kenapa kakak manggil? Gak bisa kirim pesan atau nelpon gitu?”
“Gak ada kouta gak ada pulsa,” jawabnya santai. Dasar, kakak kere. “Kalian berdua kenapa?”
“Kenapa apa?” Tanyaku dengan tampang sepolos mungkin. Dari ekor mataku aku dapat melihat Farhan tidak memperdulikan kakakku dan berbalik. Aku sendiri tidak berani menoleh menatapnya. Serius, aku sangat ingin bisa mengembalikan keberanianku untuk berterima kasih dengan benar atau mungkin bertengkar, walaupun tidak ada alasan untuk bertengkar dengannya. Yah, setidaknya kami nggak secanggung ini.
“Lia,” panggilan itu membuat berbalik. Aku tidak menatap mata Farhan seperti yang biasa aku lakukan ke lawan bicaraku. Menatap mukanya saja aku tidak bisa, apalagi menatap matanya. Sebagai gantinya aku memandang ujung kepalanya, kebiasaanku kalau tidak berani menatap mata orang lain, seolah-olah ada sesuatu yang sangat menarik di atas kepalanya. “Nih, kacamata lo. Mau lo tinggalin gitu aja disini?”
Dan tidak sedikitpun dalam pikiranku untuk mengambil kacamataku. Rasanya benda satu itu tidak penting sama sekali kalau dibandingkan dengan kejadian barusan. Padahal aku sama sekali tidak terbiasa kalau tidak memakai kacamata.
Aku mengambil kacamata yang disodorkan Farhan dan langsung memakainya. “Thanks,” gumamku. Kuambil sisa keberanianku agar bisa menatap mukanya. Sialnya, Farhan juga sedang menatapku. Aku menarik nafas panjang lalu menambahkan, “untuk keduanya.” Melihat dari raut wajahnya, aku rasa dia paham maksudku. Syukurlah. Karena mengeluarkan dua kata itu saja sudah sulit, apalagi kalau dijelaskan maksudnya. Tau-tau aku pingsan. Gak lucu banget.
Farhan tersenyum kepadaku dan mengusap kepalaku. “Makanya lain kali hati-hati,” setelahnya dia menaiki tangga lalu menyahut, “gue ke kelas dulu.”
“Keduanya? Hati-hati?” Tanya kakakku dengan muka super kepo. “Serius, Li. Kalian berdua kenapa sih?”
Aku tidak menjawab pertanyaan Kak Elvira dan hanya bisa terdiam. Perasaanku saat ini campur aduk. Entah kenapa aku senang. Tidak ada sedikitpun alasan yang terpikirkan olehku kenapa dan bagaimana aku bisa senang. Sedangkan yang satu lagi kecewa.
Apa hanya aku satu-satunya yang gugup dengan kejadian tadi?
***