Matahari baru saja naik dari balik Gunung Salak. Sinar keemasannya menyelinap di antara kabut tipis yang menggantung, menyapu persawahan hijau yang terbentang luas. Di tepian sawah, seorang pemuda sedang mengayunkan cangkul dengan ritme teratur. Namanya Nagara, anak lelaki dari keluarga petani sederhana.
Sejak kecil, ia sudah akrab dengan tanah. Kaki dan tangannya penuh bekas luka kecil akibat duri bambu, tetapi wajahnya tetap tenang. Bagi Nagara, sawah adalah bagian dari hidupnya, meski ia sering mendengar orang-orang desa berkata:
"Ah, Nagara itu hanya anak petani. Tidak ada yang istimewa."
Ia jarang membantah. Dalam hatinya, Nagara merasa benar juga. Ia bukan prajurit, bukan bangsawan, hanya seorang pemuda desa di kaki gunung.
Pagi itu, saat sedang mencangkul tanah yang agak keras di sudut ladang, mata cangkulnya menghantam sesuatu yang berbunyi krek!. Bukan batu, tapi bunyinya lebih nyaring, seperti kayu kering yang patah.
Nagara berhenti, menyingkirkan tanah dengan hati-hati. Tangannya menyentuh permukaan kasar dari sebuah benda. Perlahan, ia membersihkan tanah yang melekat. Betapa terkejutnya ia saat menemukan sebuah peti kayu tua, ukurannya seukuran lengan, terkubur sebagian.
“Apaan ini…?” gumamnya.
Kayu peti itu rapuh, warnanya sudah kehitaman. Ukiran samar terlihat di permukaannya, menyerupai bentuk bunga teratai dan lingkaran yang melingkupi matahari. Nagara tidak begitu paham, tapi ia tahu ukiran ini bukan sembarang hiasan.
Dengan hati-hati, ia mengangkat peti itu keluar dari tanah. Beratnya tidak seberapa, bahkan terasa ringan sekali. Nagara penasaran, lalu membuka penutupnya yang sudah longgar.
Di dalamnya… kosong.
Hanya ada sehelai kain usang, berwarna cokelat pudar, dengan motif lambang kerajaan yang pernah ia dengar dari cerita orang-orang tua: lambang Pajajaran.
Jantung Nagara berdegup cepat. Peti tua ini jelas bukan benda biasa. Tapi kenapa isinya kosong? Ke mana benda yang seharusnya disimpan di dalamnya?