Sore itu, desa di kaki Gunung Salak masih hiruk-pikuk dengan kedatangan rombongan berkuda. Warga berbondong-bondong keluar rumah, sebagian bersembunyi di balik pintu. Jarang sekali mereka melihat orang berpakaian resmi kerajaan, apalagi datang berkelompok.
Nagara berdiri canggung di depan rumahnya. Di sampingnya, peti tua itu tergeletak, seolah menjadi pusat perhatian semua orang.
Seorang perempuan muda turun dari kuda. Ia menyibakkan kain panjang yang menutupi bahunya, menatap sekeliling dengan mata yang tajam tapi teduh. Wajahnya bersih, gerakannya anggun, namun caranya memberi perintah pada para pengiringnya menunjukkan bahwa ia bukan sekadar pembawa pesan.
Namanya Laras—begitu ia memperkenalkan diri. Suaranya tenang, tapi ada wibawa yang sulit dijelaskan.
“Aku mendengar ada seorang pemuda desa yang menemukan benda ini,” katanya, menatap peti di tanah. “Siapakah dia?”
Orang-orang desa spontan menoleh ke arah Nagara. Pemuda itu menelan ludah, melangkah maju dengan kikuk.
“A-aku,” jawabnya pelan.
Laras mendekat, lalu berlutut untuk melihat peti. Jemarinya menyentuh ukiran samar di permukaannya. Wajahnya berubah serius. Ia membuka peti itu, menemukan kain usang dengan lambang Pajajaran. Matanya terpejam sejenak, seperti menahan perasaan yang bercampur.
“Benar…” gumamnya, hampir tak terdengar.
Nagara tak tahan untuk bertanya. “Apa sebenarnya benda ini?”
Laras menatapnya, lama sekali, seakan menimbang apakah ia boleh menjawab. Akhirnya, ia berkata pelan, “Ini… tempat penyimpanan pusaka kerajaan. Dan jika tempatnya ada di sini, berarti pusakanya tak jauh dari sini juga.”
Bisik-bisik warga semakin ramai. Ada yang kaget, ada yang ketakutan. Seorang tetua desa mendekat dan berkata lirih pada Laras, “Nyonya… kalau benar pusaka itu ada di sekitar sini, bukankah itu berbahaya? Banyak telinga yang mengintai.”