Pagi itu, rombongan kecil bergerak meninggalkan desa. Kuda-kuda melangkah pelan di jalan tanah, sementara embun masih menggantung di ujung daun padi. Nagara berjalan di samping Laras, menuntun seekor kuda yang dipinjamkan padanya.
Ia masih merasa aneh. Baru kemarin ia hanya pemuda desa, kini ia ikut perjalanan bersama utusan kerajaan.
“Kenapa kita menuju sungai?” tanya Nagara, berusaha memecah sunyi.
Laras menoleh sebentar. “Sungai Citarum adalah nadi Pajajaran. Segala sesuatu yang penting, termasuk pusaka, pasti meninggalkan jejak di jalur perdagangan. Jika pusaka itu berpindah tangan, kemungkinan besar kabarnya melewati pedagang di sana.”
Nagara mengangguk, meski kepalanya penuh pertanyaan. Baginya, sungai hanya tempat mencari ikan atau menyeberang. Sulit membayangkan aliran air bisa menyimpan jejak sejarah.
Beberapa jam kemudian, mereka tiba di tepi sungai. Citarum mengalir deras, berkilau memantulkan cahaya matahari. Perahu-perahu kayu berjejer, sebagian memuat hasil bumi, sebagian lagi berisi kain dan kerajinan.
Suasana ramai. Pedagang bersahut-sahutan, anak-anak berlari di dermaga, suara kayu berderit menambah riuh.
Seorang lelaki tua yang menjual anyaman bambu menatap rombongan dengan curiga. Laras mendekat, tersenyum ramah. “Paman, bolehkah aku bertanya? Pernahkah kau melihat lambang ini?”
Ia mengeluarkan kain usang dari peti, memperlihatkan ukiran Pajajaran.
Mata lelaki itu langsung membesar. Ia menoleh kanan-kiri, lalu berbisik, “Jangan tunjukkan itu sembarangan! Ada banyak mata yang mengincar.”
Laras mendekat, suaranya lembut. “Tolong ceritakan apa yang kau tahu.”