Pertempuran di tepi hutan semalam masih membekas di benak Nagara. Dentingan senjata, teriakan prajurit, dan bayangan orang-orang bertopeng yang menyerang tiba-tiba membuat tidurnya gelisah. Meski akhirnya mereka berhasil mengusir para penyerang, satu hal jelas: Ki Jagabaya benar-benar mengincar mereka.
Pagi itu, rombongan kembali bergerak. Laras menunggang kudanya di depan, wajahnya lebih tegang dari biasanya. “Kita tidak bisa tinggal diam. Desa perbatasan Karangjati adalah tempat persinggahan pedagang. Jika ada kabar tentang Ki Jagabaya, kemungkinan besar sampai ke sana.”
Nagara hanya mengangguk. Tubuhnya lelah, tapi rasa ingin tahu mengalahkan segalanya.
Saat matahari condong ke barat, mereka tiba di Karangjati. Desa itu berbeda dengan kampung Nagara. Jalanan lebih ramai, rumah-rumah panggung berdiri rapat, dan pasar kecil penuh teriakan pedagang. Orang-orang dari berbagai daerah berkumpul, membawa kain, beras, dan rempah.
Namun, di balik keramaian itu, ada sesuatu yang janggal. Mata-mata asing mengikuti setiap gerakan mereka. Nagara merasakannya, bulu kuduknya berdiri.
Seorang prajurit berbisik pada Laras, “Banyak tatapan tak bersahabat, Raden. Seolah-olah kedatangan kita sudah ditunggu.”
Laras menunduk sebentar, lalu tersenyum tipis. “Itu berarti kabar bergerak lebih cepat daripada kita.”
Mereka menuju rumah kepala desa. Seorang lelaki tua menyambut dengan sopan, namun tatapannya menyimpan keraguan.
“Raden Laras, kami mendengar kabar bahwa pasukan asing mencari sesuatu di sungai. Apa benar?” tanyanya pelan.
Laras tidak langsung menjawab. “Benar. Dan kami yakin Ki Jagabaya ada di balik itu. Kami datang untuk mencari kebenaran sekaligus memperingatkan.”