April, 2017
“Hai” Para denshi saling memberi hormat ketika sesi latihan di sebuah ruangan dojo IOSSKA (International Okinawan Shorin-ryu Seibukan Karate Association) hari itu berakhir. Mereka adalah warga lokal; pria dan wanita dari berbagai kalangan usia. Beberapa turis asing pun terlihat membaur di sana.
Sudah bukan rahasia, Okinawa ibarat magnet bagi penggemar seni bela diri karate dari seluruh dunia. Mereka tertarik datang jauh-jauh ke Okinawa hanya untuk belajar karate langsung dari tempat asalnya.
Dan memang terasa unik. Di Okinawa, penghormatan dalam karate bukanlah “osu”, melainkan “hai”. Karate juga tidak dianggap sebagai martial art semata, tetapi telah menjadi bagian gaya hidup warga, sehingga para denshi yang berasal dari berbagai kalangan tadi sudah menjadi pemandangan biasa di dojo-dojo yang banyak tersebar di Naha, ibukota Okinawa. Mereka semua sama. Sama-sama menikmati karate Okinawa dalam cara yang menyenangkan dan sederhana.
Okinawan lekat dengan bahaya dan kehidupan yang sulit. Tak heran, prefektur ini berada di Kepulauan Ryukyu, ujung selatan kepulauan utama Jepang dengan beragam lintas budaya, geografis, dan kepentingan politik. Bisa dibilang, Okinawa adalah gerbang dari medan perang.
Kini, Avicenna berhasil mewujudkan mimpinya ke tempat ini, kesempatan yang ia dapat sebelum genap berusia tujuh belas tahun. Ia bisa datang dan berlatih karate di sini, meskipun harus dibayar mahal. Ia masih Avicenna yang dulu, Avicenna yang mencintai karate sebagai bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
“Avicenna san wa Indoneshia hito desu ka?”
Avicenna hanya mengiakan sambil tersenyum ketika beberapa obasan mengajaknya bicara, yang ia sadari itu basa-basi belaka. Seorang dari mereka bahkan tak sabaran mengelus wajahnya yang ganteng. Bagai disundut bara api, kebakaran seolah menyebar di antara para obasan yang penasaran.
Avicenna hanya tertawa canggung menanggapi. Oh, ayolah .... Sejak berlatih di dojo yang dikelola oleh Sensei Shimabukuro ini, ia telah memiliki banyak fan dari kalangan wanita paruh baya yang langsung membentuk komunitas penggemar bernama ALO, “Avicenna Lovers Obasan”. Ia adalah rising star di tempat ini. Masih untung kalau itu kumpulan para gadis, tapi ini adalah mid age women. Beruntung, berkat tinggi badannya yang menjulang, ia bisa menghindari elusan bibi-bibi paruh baya yang hanya sepundaknya itu.
“Hei obasan, jangan mengganggu minor!” Seorang ojisan berusaha membantu Avicenna keluar dari masalah yang menjengkelkan tersebut. Avicenna tidak keberatan sebenarnya, hanya saja rasanya risi bila terus menerima perlakuan semacam ini.
“Ara .... Pemuda ini tampan sekali, sih!”
Para obasan itu mengeluh seakan tak rela melepaskan diri dari si ikemen— sebutan untuk pria tampan dan maskulin dalam budaya Jepang. Meskipun baru kelas XI, penampilan Avicenna memang terkesan atletis dan matang; hasil latihan keras bertahun-tahun, sumbangsih gen orang tua, dan pastinya adalah anugerah dari Yang Mahakuasa.
Beberapa obasan lalu bertindak semakin berani. Dengan tak tahu malu, mereka mencubiti otot biseps di lengan Avicenna dengan gemas. Astaga, risi sekali rasanya walaupun adegan konyol ini lucu juga untuk ditonton serta mengundang decak tawa.
“Ara! Daripada kau terjebak dengan obasan, ikutlah kami ke Dojo Bar,” ajak seorang lelaki merasa kasihan tetapi tidak bisa menyembunyikan raut geli dari wajahnya.
Dojo bar yang disebut pria tadi adalah sebuah kafe bertema karate yang sangat terkenal di Naha. Penggemar karate yang berkunjung ke Okinawa pasti mengenal tempat ini. Pemiliknya adalah James, seorang pria berkebangsaan Inggris pencinta karate yang pindah ke sini sejak beberapa tahun lalu.
“Arigato gozaimasu, saya masih minor.” Avicenna menolak dengan sopan. Mungkin ia akan berkunjung ke sana lain waktu untuk membubuhkan tanda tangan di dinding dojo sebagai tradisi. Namun, ia tak butuh sake. Tanpa itu pun, ia sudah merasa “mabuk”. Dimabuk rindu tepatnya.
“Ayolah, hanya beberapa cangkir sake tidak masalah, bukan?” Mereka memaksa.
“Gomen nasai. Saya tinggal di sini saja untuk membereskan tempat latihan." Avicenna membungkukkan badan. Akhirnya, mereka pun menyerah. Untungnya, para obasan tadi juga membubarkan diri walau berat hati setelah seorang lelaki tua mengusir mereka. Tampaknya kerabat salah seorang obasan. Syukurlah, ojisan tadi mengerti akan situasinya dan tetap bersikap ramah.
Terselamatkan juga dia akhirnya, Avicenna bernapas lega.
Ia melempar pandang ke penjuru ruangan, menyesap ketenangan di penghujung hari yang jarang diperoleh belakangan ini. Ia pun mulai melakukan aktivitas harian; membersihkan dojo sebelum dan sesudah latihan. Meskipun di kampung halaman dirinya adalah seorang karateka senior alias senpai, tetapi di tempat ini ia memulai lagi dari awal, belajar karate dengan cara Okinawa dari nol, termasuk menjaga kebersihan dojo. Ia tanggalkan sementara aliran Shotokan dan Wado Ryu yang ia kuasai dan kini kembali mengenakan sabuk putih, tingkatan dasar dari karate.
Dikencangkannya lagi ikatan obi (sabuk) di pinggang setelah selesai mengepel seluruh lantai. Masih ada waktu beristirahat sebentar sambil menunggu Sensei Shimabukuro yang masih mengajar di ruang sebelah. Pemuda itu pun duduk bersila di dekat dinding.
Avicenna mengambil gawai dari dalam ransel. Benda ini seolah menjadi bagian tak terpisahkan kedua baginya karena inilah obat penawar mabuk kepayangnya yang kadang tak tertahankan. Rindu pada gadis itu, tentu saja. Amanda Ranindhita.
Sekarang pukul 17.00 JST (Japan Standar Time), Amanda mungkin sudah selesai dengan kegiatan kampusnya di Surabaya yang berbeda zona waktu dua jam. Ternyata dugaannya benar, pesan yang ia kirimkan sebelum latihan tadi kini telah tercentang biru sehingga dengan begitu saja sudut bibir Avicenna tergelitik untuk mengulum senyum. Dasar remaja.