Avicenna mengernyit menatap tablet yang tersedia dalam kabin pesawat. Benda itu menempel di tiap belakang kursi penumpang dan di layar miliknya sekarang terpampang sebuah permainan aksi arcade, sementara jari-jemarinya dengan kasar memencet-mencet controller. Beruntung, itu benda mati. Jika punya mulut, mungkin benda itu sudah mengeluhkan cara Avicenna memperlakukannya.
Namun, tak ada asap tanpa api. Di balik wajah yang terlihat fokus pada game di depannya, hati pemuda itu justru sedang diselimuti amarah. Bermain game hanya sebagai pengalihan dari perasaannya yang sedang kalut. Sosoknya yang terbiasa aktif itu kini seakan mengeluh bosan. Ia mesti duduk berjam-jam dalam pesawat—Tokyo ke Jakarta, sebelumnya transit dulu dari Okinawa. Sungguh menjengkelkan, karena selama itu ia habiskan dengan duduk, duduk, dan duduk saja. Yah, baginya, kegiatan duduk manis ini amatlah menyiksa.
Andai sekarang dia tidak terbang sendiri dan ada Amanda di samping, bukannya seorang bapak dengan kepala plontos yang sedari tadi memasang raut wajah protes padanya karena mendengar bunyi ketuk di controller, tentu bakal beda kisahnya! Ia rela duduk berjam-jam untuk memandangi wajah gadis itu. Uh.
“Kata Ayahmu kamu sedang liburan di Okinawa, ya? Pulang hari ini?”
Sebuah pesan masuk di Whatsapp menambah kadar emosi saja. Dari Dokter Nadya. Gawainya sekarang memang terhubung dengan wi-fi pesawat sehingga masih dapat berkomunikasi lewat sana. Pemuda itu mengetatkan rahang kuat dengan mata menyorot marah. Andai sang “camer” berbaik hati menanyakan kabarnya, tentu akan ia jawab dengan senang hati. Nyatanya, ia kini sedang diselidiki. Tidak sekali ini saja Dokter Nadya menanyakan kegiatan liburannya.
Yah, Avicenna sadar bahwa ia selalu diawasi semenjak ketahuan mendekati sang putri. Wanita itu selalu berhasil menebak apa yang sedang ia rencanakan seolah-olah beliau punya detektor konspirasi dalam kepalanya. Namun, Dokter Nadya tidak akan menebak rencananya untuk mampir ke Surabaya nanti, bukan? Sekian lama bertahan dalam mode gerilya, akhirnya ia tidak tahan juga. Kali ini, Avicenna nekat ingin menemui Amanda bermodalkan alamat yang telah ia peroleh dengan susah payah. Hanya sebentar ... melepas rasa rindu yang sudah membuncah. Ini pasti akan jadi kejutan luar biasa, Avicenna membayangkan.
Yah, rencana, sih, rencana, tetapi ini dia masalahnya.
“Kenapa pulang cepat? Jangan pernah berpikir untuk mampir ke tempat Amanda, ya? Ingat perjanjian kita dulu. Saya ini tidak bodoh.”
Demi apa …. Ia ketahuan?! Apa ia sudah bilang kalau wanita ini menyeramkan? Bahkan, Dokter Nadya tidak perlu menunggu balasan darinya sebagai konfirmasi. Andai tidak ingat di mana dirinya berada sekarang, tentu sudah ia layangkan tinju kekesalan pada kursi di depan.
Dokter Nadya betul-betul ngotot memisahkannya dari Amanda, Avicenna paham betul posisinya. Akan tetapi, masa Dokter Nadya tidak pernah muda? Mungkin wanita itu tidak mau tahu apalagi peduli. Tak ada rasa simpati sedikit pun pada rasa rindu Avicenna yang sudah menggunung ini. Stok kesabarannya sudah terkuras habis.
Meski begitu, dia bisa apa? Dia belum punya kekuatan untuk melawan, dia masih remaja kemarin sore di mata Dokter Nadya. Namun setidaknya, masih ada jalan tengah. Jika rindunya sudah tak tertahankan lagi, biasanya dia akan menghubungi seseorang. Orang yang selama ini diam-diam membantunya ... Airinda.
Airinda adalah adik dari Amanda, sosok kunci di balik terbongkarnya hubungan backstreet antara dia dan Amanda dulu. Dan Avicenna kini berhasil menggaet simpati gadis itu untuk menjadi narasumbernya. Terpaksa, karena Kak Naura, sahabat dari Amanda sekaligus pendukung terbesar mereka, sudah menikah sekarang. Kak Naura telah dikaruniai seorang gadis kecil yang lucu dan menggemaskan. Jadi, sudah cukup ibu muda itu disibukkan oleh urusan keluarganya, masa Avicenna harus merecokinya juga dengan kisah cinta antara dia dan Amanda?
Ah, ia juga merasa bersalah pada Kak Naura. Gara-gara dia, Amanda jadi tidak bisa datang ke acara pernikahan sahabatnya. Alasannya klise, sibuk katanya. Tapi semua itu hanya dalih karena Dokter Nadya pasti yang melarang gadis itu pulang ke Kalimantan, takut kalau Avicenna akan menemuinya. Bisa dibayangkan betapa kecewanya mereka. Mengejar Amanda serasa sedang mengincar badak Serengeti yang langka saja karena penjagaan ibunya seketat jagawana.
Kembali pada niat awalnya, ia menggulir ruang chat untuk mencari nama Airinda dan ternyata ada pesan baru di sana.
“Ini siapa?”
Mata Avicenna lantas melebar ketika menerima sebuah foto dari Airinda. Oh, niat hati mau meminta foto terbaru gadis pujaannya, justru ia dikejutkan oleh sebuah pesan tak terduga:
“Gua punya mata-mata, ya, di sekolah lo. Apa hubungan lo sama cewek ini?”
Panik, Avicenna buru-buru mengetikkan jawaban.
“Teman doang, Kak, dia adik kelasku. Kak Airinda gak bakal cerita ke Kak Manda, ‘kan?”
“Teman kok mesra banget pakai gandeng lo segala.”
“Sumpah aku gak punya hubungan sama dia. Aku dikuntit!”
Avicenna mengerang frustrasi karena bisa saja Airinda mengadukan ini pada Amanda dan demi apa pun ia tak mau itu terjadi. Sudah cukup jarak yang memisahkan mereka, Ia tidak butuh tambahan kesulitan lagi.
“Kirim foto lo terbaru dulu baru gua tutup mulut.”
Alis tajam Avicenna bertaut tanda jengkel. Maunya gadis ini apa, sih? Jangan bilang kalau Airinda berniat mengoleksi fotonya. Aneh.
“Aku gak ada hubungan apa-apa sama cewek itu!” Ia mengulangi dengan jengkel. “Kak Manda gak perlu tahu soal ini.“
“Kak Airinda? Halo?” Sialan, gadis ini malah sengaja menggantung pesannya.