“Akhirnya, ketemu juga, kau!” Amanda memekik kaget ketika seseorang menepuk pundaknya dengan keras dari belakang. Dengan cepat ia berbalik berupaya melindungi diri, refleks yang ia peroleh dari latihan karatenya dulu masih tersimpan baik dalam memori sel-sel ototnya.
Amanda menghela napas setelah tahu sosok penyerangnya barusan. Rekan satu kampusnya, Syahreza. Pria itu menatapnya sedingin gunung es, tak merasa terintimidasi sama sekali oleh sikapnya yang siap dalam posisi tangan pisau di depan dada.
“Aku tadi ke tempatmu. Kata ibu kosmu, kamu gak ada. Whatsapp-ku juga gak dibalas. Main kucing-kucingan, ya?”
Oke, Amanda mengerti kenapa Syahreza berbicara seketus itu padanya. Mereka memang sudah janjian sejak kemarin untuk jogging bareng sore ini. Namun, tadi ia tak sempat memberitahu kalau ada perubahan rencana karena pulang tergesa-gesa. Dan soal Whatsapp? Jujur saja, Amanda sedang malas membahasnya. Amanda hanya sedang ingin sendiri saat ini. Mungkin karena menyadari keanehan sikap Amanda yang tak kunjung meresponsnya, Syahreza lalu bertanya.
“Dari tadi pertanyaanku gak dijawab. Kenapa kamu ini?” Amanda diam membisu, ia memilih mengadu pada sepatu kets yang menggesek gelisah di permukaan aspal. Perlukah ia teriakkan keras-keras? Ia sungguh sedang ingin sendirian sekarang dan tidak direcoki oleh siapa pun termasuk pria ini!
“Hei, kamu habis nangis, ya?” Syahreza lalu menyadari mata Amanda yang sedikit membengkak. Pria itu bahkan sengaja menunduk untuk menilik lebih dekat.
“Bukan urusanmu, Za.”
Amanda langsung memundurkan kepala dari jarak intip Syahreza dan ia sama sekali tidak berminat untuk membicarakannya karena tanggapan dari si ketus pasti bakal nyelekit seperti biasa.
Amanda melanjutkan jogging yang tertunda. Akan tetapi, niat hati mau menghindar, Syahreza malah menjajari ritme larinya dengan mudah. “Gara-gara Avicenna lagi?” tebak Syahreza yakin dan sialnya tepat. Tolong, tekadnya untuk menyembunyikan rapat-rapat masalahnya buyar sudah.
“Gak usah bohong, deh. Kalau sampai pesanku tak kamu balas, berarti ada sesuatu dengan bocah itu, ‘kan?”
Bocah? Uh. Amanda menggigit bibir kesal. Pembicaraan ini mmembuat hatinya getas saja. “Plis, Za ... jangan ikut campur!” ujarnya memperingatkan. Dan ia tak terima dengan cara Syahreza memanggil Avicenna tadi. Memang betul Avicenna berondong, lantas kenapa? Meskipun begitu, Avicenna adalah sosok spesial di hati Amanda.
“Hei, virgin. Avicenna itu hanya penasaran karena dia belum dapat apa yang dia mau dari kamu. Kamunya saja yang naif gak mau terima kenyataan. Pasti di sana dia juga sudah punya cewek. Buktinya, Avicenna tenang-tenang saja, ‘kan, gak nyari kamu selama ini?”
Keterlaluan, kamu, Za! Amanda berteriak kesal dalam hati. Ini bukan pertama kalinya Syahreza melontarkan argumen pedas tentang pemuda yang ia cintai. Hanya karena mereka sama-sama lelaki, bukan berarti Syahreza bisa menyamaratakan Avicenna dengan dirinya, bukan?
Namun, Amanda tak mampu menampik jika sudut hatinya kini bergetar; bagaimana kalau yang dikatakan Syahreza itu benar? Amanda menelan pahit ludahnya, ia jadi ingin menangis lagi karena memikirkan hal ini. Duh.
“Aku tidak peduli,” ucap Amanda getir. “Aku tetap cinta dia apa adanya.”
“Ck.” Syahreza berdecak lalu sudut bibirnya tertarik mengulas senyum sinis. “Dasar bucin tak ada harapan!”
Amanda sudah kebal dengan hinaan Syahreza. Ia sama sekali tak menyanggahnya ... ia memang sudah menjadi bucin seorang berondong. Sia-sia saja jarak ratusan kilometer yang terbentang memisahkan mereka berdua karena hatinya sudah terikat dengan pemuda itu. Sangat erat, hingga yang ada dalam pikirannya cuma Avicenna seorang.
Yang mengherankan adalah kenapa justru dia masih betah saja dekat-dekat Syahreza? Pria ini pernah menolongnya dari kepungan pemuda iseng di waterpark, lalu sepihak saja mendeklarasikan diri sebagai temannya. Jujur, Amanda awalnya tidak tertarik untuk terlibat mengingat reputasi Syahreza yang terkenal miring.
“Kita kan sama-sama satu daerah? Harus kompak!” tegas Syahreza dulu ketika Amanda mencoba menolak.
Satu pulau, sih, iya, tapi tetap saja mereka berdua beda almamater karena Syahreza murni alumni Petra sejak mengambil program S-1 Arsitektur. Meskipun demikian, ada untungnya juga karena pria ini sudah familiar dengan seluk-beluk Kota Surabaya dan punya koneksi yang cukup luas dengan para pengembang di sini. Inilah yang bisa Amanda peroleh dari pertemanan mereka. Dan Syahreza sendiri juga punya rekanan yang bisa dipercaya sekarang untuk dilimpahi proyek yang tak sanggup pria itu tangani sendiri.
Namun, Syahreza itu ada di dunia yang sangat berbeda, keturunan seorang pengusaha tambang jet set dari Kaltim dan menganut gaya hidup yang bertolak belakang dari Amanda. Memang Syahreza bukan tipe berandalan yang suka bikin onar keributan. Hanya saja, pria ini terlalu bebas dan dingin dalam hubungan. Amanda belum pernah mengenal seorang wanita pun yang terlibat komitmen serius dengan Syahreza. Bagi pria itu, nilai kaum hawa tak lebih dari pelengkap kebutuhan sesaat dan Syahreza tak pernah kekurangan wanita yang bersedia ia jadikan partner sementara.
Amanda tak habis pikir bagaimana cara Syahreza beraksi memikat mereka. Mungkin karena ketampanannya yang tak biasa, atau kekayaannya yang luar biasa, atau malah pembawaan dinginnya yang justru menjadi daya tarik tersendiri. Pernah suatu saat Amanda iseng bertanya padanya, Syahreza hanya menanggapinya dengan santai. “Rahasianya simpel saja ... aku ahli dalam urusan itu dan tahu cara menemukan partner yang tepat.” Dasar player.
Oleh sebab itulah Syahreza sangat membenci ideologi cinta Amanda yang lurus. Dan kenapa pria ini enggan menyingkirkan Amanda dari daftar rekanan, tetap menjadi sebuah misteri sampai kini.
Lalu ada satu hal lagi tentang Syahreza yang membuatnya tak kalah bingung; kenapa Syahreza harus bersusah payah menjadi seorang arsitek bila status sosial orang tuanya sudah kaya raya begitu? Dengan perbedaan status mereka, Syahreza bersikap pongah sehingga Amanda selalu saja berada di pihak yang musti tunduk patuh—sudah konsekuensi yang harus ia terima apa adanya.