Putih Polos Avicenna

Ravistara
Chapter #4

Skandal (Bagian Satu)

“Sedang apa?”

Avicenna menggigit bibir bagian bawah. Entah ini sudah pesan keberapa yang dikirim untuk Amanda, tetapi tidak beroleh satu balasan pun. Tak biasanya gadis itu menggantung pesannya berlama-lama dan ini sudah berlangsung sejak semalam. Padahal, status gadis itu daring. Ia kangen. Amanda, kenapa? Avicenna membatin sedih.

“Sen, ssh!” Kaki Avicenna yang bersila disenggol oleh Avenna. Pemuda itu melirik kakaknya yang sedang berselonjor di ujung sofa karena merasa terganggu. Hatinya sedang digelayuti mega mendung.

“Kenapa kamu, Sen? Sia-sia saja tampang maskulinmu itu kalau bawaanmu galau melulu. Gak enak dilihat, tahu!” Avenna mulai merasa bosan melihat aura hitam di wajah sang adik. Bikin gerah saja. Avicenna ingin sekali mengabaikan, tetapi kakak semata wayangnya ini tidak pernah membiarkannya larut dalam pikirannya sendiri dan selalu mau ikut campur urusannya. Dasar Avenna!

“Kepikiran Amanda, ya?” terka Avenna tidak salah sehingga Avicenna makin menunduk fokus pada layar gawai. “Masih saja kamu berharap pada cewek pengkhianat itu, Senna?”

“Kak Venna!” tegur Senna lantang. Avicenna bukanlah seorang pendendam. Namun, tatkala mendengar Amanda dihina, jelas ia tidak terima. Avicenna tidak akan tinggal diam walaupun orang itu adalah saudarinya sendiri.

“Kalau bukan pengkhianat, apa namanya? Katanya ke Surabaya cuma setahun, tapi ini sudah lewat dan dia belum balik juga. Pasti dia punya gebetan baru di sana sampai betah gak mau pulang.”

Alis Avicenna menukik tajam membentuk sayap elang. Kenapa Avenna jadi menuduh Amanda yang tidak-tidak?

“Jangan ngomong sembarangan, Kak! Amanda ambil S-2, jadi gak bisa pulang,” belanya.

“Alasan! Masa pulang sekali setahun saja gak bisa. Lupa, apa, dia kalau ada kamu di sini?”

Rahang Avicenna mengeras, ia mulai terpancing dengan makian Avenna yang tertuju untuk gadisnya. Bukannya Amanda, tetapi harusnya dialah yang terbang ke Surabaya untuk berkunjung andai tidak ada kesepakatan sialan antara dirinya dan Dokter Nadya.

“Kak Venna, tolong. Hargai perasaanku ....” Avicenna berusaha melunakkan hati sang kakak.

“Senna, aku ini kakakmu, ya. Aku peduli sama kamu. Aku enggak rela adikku dipermainkan sama orang. Dari awal dia sudah jual mahal sama kamu, selalu meremehkan perasaan kamu, mentang-mentang kamu masih muda. Padahal Kak Venna tahu betul bagaimana sifatmu yang serius dan tak suka main-main.”

“Kak, soal itu udah clear, gak perlu diungkit lagi,” pinta pemuda itu. Amanda sudah menerima perasaannya walaupun ia harus menggunakan beragam usaha untuk meyakinkan gadis itu. Masalahnya sekarang, mereka terpisah oleh jarak dan waktu, lalu soal komunikasi yang sulit ini.

“Kamu kok mau-maunya, sih, digantung sama dia, Sen? Mending kamu jalan saja sama Marshailla, dia gak kalah cantik kok dari Amanda. Masih muda, lagi, seumuran kamu.”

Argh, jangan mulai deh .... Avicenna geram karena kakaknya kembali membahas hal yang tak ia sukai. Avicenna tidak punya perasaan apa pun terhadap Marshailla. Secantik dan semenarik apa pun fisik gadis lain, hatinya sudah tertambat pada Amanda. Gadis itulah yang berhasil menggugah perasaannya, membuatnya nyaman dan bahagia dalam cara yang sederhana. Cintanya tidak butuh alasan untuk dijelaskan karena ia sendiri yang akan memberikan bukti kesungguhannya.

“Jangan mulai memaksakan kehendak ke adikmu, Venna.”

Kakak adik itu sontak menoleh pada sumber suara tersebut. Bunda yang berbicara. Astaga, karena sibuk berdebat, mereka berdua lupa kalau di ruang keluarga juga ada orang tua mereka.

Inilah rutinitas yang terjadi di rumah setelah selesai makan malam. Satu keluarga terbiasa berkumpul bersama di depan televisi untuk sekadar mengobrol ringan. Kalau ada masalah yang sedang menimpa salah satu dari mereka, acara kumpul-kumpul itu juga jadi forum diskusi untuk menyelesaikannya. Ayah dan Bunda memang pandai menempatkan diri sebagai teman bicara sehingga membuat keduanya merasa nyaman untuk bercerita masalah pribadi, termasuk persoalan cinta.

“Venna, tolong kecilkan suara TV-nya,” perintah Ayah pada si sulung.

Wah, sepertinya Ayah ingin bicara serius. Walaupun berat hati karena sebuah gala premiere sedang tayang sekarang dan di bagian seru-serunya, mau tidak mau Avenna harus menghormati permintaan itu. Ia matikan sekalian saluran televisi karena perintah kecilkan suara TV tadi hanyalah sebuah isyarat halus. Mereka sudah hafal dengan sifat Ayah yang tegas tapi tidak mendikte. Karena itulah, semuanya menghormati Ayah dalam cara yang positif pula.

Avicenna lantas membetulkan posisi duduknya agar lebih sopani. Kakinya yang sedari tadi bersila di atas sofa sekarang turun ke bawah. Sikapnya itu juga diikuti oleh kakaknya yang kini memangku bantal sofa.

“Kamu benar-benar serius tentang Amanda, Senna?” Pak Widiasena menatap putranya tajam; sosok yang telah dibesarkannya dengan susah payah dan kini sedang tersandung masalah percintaan. Masalah yang sama sejak dulu dengan gadis yang sama pula. Kukuh sekali putranya ini jika sudah menyangkut soal Amanda.

“Ya, Ayah.” Avicenna bahkan tidak perlu berpikir dua kali untuk menjawab. Tentu saja dia serius. Jawabannya pun mengundang desah Bunda dan kerlingan bosan Avenna. Ah, keteguhan ekspresi Avicenna saat ini mengingatkan Pak Widiasena pada sosok kecil putranya dulu yang pernah ditanyai tentang kesungguhannya ingin berlatih karate. Waktu itu, umur Avicenna baru menginjak lima tahun, tetapi Pak Widiasena dapat melihat binar kesungguhan dan semangat di mata bocah polosnya. Hingga kini, karate telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian Avicenna.

Sekarang, Avicenna sudah mulai beranjak dewasa. Lagi-lagi putranya ini juga memberikan ekspresi yang sama. Hanya saja yang kini ia pertanyakan adalah kesungguhan dan keseriusan Avicenna soal hubungannya dengan seseorang.

“Senna, memilih untuk dekat dengan seseorang itu berbeda dengan memilih hobi olahraga.” Dengan perlahan, Pak Widiasena berusaha memberikan pengertian. Jangan sampai putranya ini mengalami kebingungan dengan menyamaratakan antara kedua hal tersebut. Tawa geli Avenna pun pecah demi mendengar perkataan sang Ayah karena terdengar sangat lucu baginya. Bukannya tidak mungkin, kan, jika adiknya ini hanya terkena hipnotis pesona Amanda sesaat sehingga menyalahartikan kesenangannya bersama gadis itu dan berlatih karate adalah hal yang sama?

“Memang, apa masalahnya dengan Amanda, Ayah?” tanya Avicenna membalas tatapan sang ayah tak kalah serius. Bahkan, dia tidak segan lagi menanggalkan embel-embel “kakak” di depan nama gadis itu.

Lihat selengkapnya