Putih Polos Avicenna

Ravistara
Chapter #5

Skandal (Bagian Dua)

“Senna, kok cuma diaduk begitu makanannya?” tegur Bunda. Ia menatap sosok putranya yang dari tadi kelihatan tak berselera untuk sarapan.

Avenna melirik adiknya sinis lewat sudut mata. “Lagi galau kali, Bun ... mau pilih kakaknya yang manis, atau adiknya yang seksi.”

Bunda menghela napas dalam seraya menggeleng tak habis pikir kenapa putranya bisa terlibat dengan kedua anak gadis Dokter Nadya. Malam tadi, Avenna langsung menginvestigasi Avicenna tentang sosok Airinda dan hasilnya mencengangkan. Ia bahkan menemukan beberapa foto Airinda tersimpan di gawai sang adik. Lalu, ya … setelah mengetahui bagaimana penampilan sosok si calon ipar, Airinda langsung paham kenapa Avicenna sampai rela jalan dengannya. Airinda adalah tipe gadis yang susah ditolak oleh kaum lelaki karena faktor keseksiannya. Wah, berbahaya sekali kalau ini terus dibiarkan. Mana tak ada antiracunnya, pula ... Amanda.

“Ayah dan Bunda maunya punya menantu arsitek atau dokter?” sindir Avenna. Siapa lagi yang ia maksud kalau bukan Amanda yang kini resmi sebagai seorang arsitek dan Airinda, sang adik yang sedang kuliah di Fakultas Kedokteran?

Avicenna berdecak kesal tanpa menoleh. “Aku sudah bilang gak punya hubungan apa-apa dengan Kak Airinda.”

“Gak punya hubungan, kok, sering jalan berdua? Lantas, itu namanya apa? TTM? HTS? Atau IMB? Ipar Mesra Banget.”

Dapat istilah dari mana, sih, kakaknya ini. Kali ini Avicenna tidak mau terpancing. Mending tidak usah dia ladeni saja agar gadis itu berhenti mengganggunya. Bakal keterusan nanti nyinyirnya.

“Kamu punya fotonya, lho, Sen,” kecam Avenna masih saja berkukuh menyalahkan sang adik yang mulai malas bicara.

Avicenna meletakkan sendok yang ia pegang hingga terdengar bunyi berdenting di piring. Berdebat dengan cewek memang tak ada habisnya! Sampai kelar bakal dikejar melulu ceritanya dirinya. Tanpa menjawab, tangannya merogoh gawai dari dalam ransel. Jarinya lincah menjelajahi galeri lalu menghapus semua foto Airinda. Bukan apa-apa, foto-foto itu ada di dalam sana karena ulah Airinda yang kadang iseng meminjam gawai miliknya untuk ber-selfie ria—Ups, Kalau Avenna sampai tahu sejarah keberadaan foto-foto ini, bakal kena marah lagi dia. Lebih baik tak usah ia jelaskan saja bagian yang ini demi ketenteraman bersama.

Saat gerakan tangannya tiba pada foto Airinda yang ada Amandanya, Senna sempat berpikir sejenak. Ia lalu tampak asyik mengetuk layar untuk memotong bagian yang tak diinginkan. Nah, bereslah sudah. Ia tunjukkan hasil kerjanya tadi kepada kakaknya dengan puas. Avenna pun bungkam dengan sebelah alis terangkat.

“Kamu masih berhubungan dengan dia lewat WA, 'kan?”

Yang benar saja .... Avicenna mengerang karena Avenna mencecarnya sampai ke situ. Lalu, bagaimana caranya ia tahu kabar Amanda tanpa bantuan Airinda?

“Venna, tidak perlu berlebihan begitu.” Avenna langsung mencebik mendengar pembelaan Bunda.

“Mesti, Bun! Senna ini anaknya polos sekali. Dikasih permen beracun pun dia gak bakal sadar. Jadi, sebelum kena perangkap, harus diselamatkan!”

Ibu Shinta cuma bisa geleng-geleng kepala. Mulai deh overprotective-nya Avenna. Dan lucunya, kali ini Pak Widiasena justru berada di pihak sang putri.

“Biarkan saja, Bu. Ayah pikir, Avenna ada benarnya.” Ia tatap istrinya lalu beralih pada sang putra. “Kalau kamu tidak hati-hati sejak awal, suatu saat kamu akan terlibat masalah besar, Senna. Bukankah kamu sudah memilih kakaknya? Apa lagi yang kamu harapkan dari adiknya?” Avenna mengangguk cepat sambil menipiskan bibir gemas sebagai tanda setuju atas pernyataan Ayah barusan.

“Lalu, aku harus cari kabar Amanda dari mana, Yah?” tanya pemuda itu kebingungan sendiri. Di satu sisi, ia menyadari desakan keluarganya itu demi kebaikannya juga, tapi bagaimana dia bisa bertahan tanpa tahu kabar Amanda sama sekali?

“Kamu anggap apa kakakmu ini, huh?” Avenna menoyor lengan adiknya. “Andai kamu mau cerita dulu, Kak Venna, kan, jadi tahu masalahnya dan bisa bantu. Memangnya, cari tahu kabar Amanda harus lewat Airinda?”

Ya ampun, apa yang dikatakan oleh kakaknya itu benar juga. Kenapa Avicenna baru kepikiran sekarang?! Sudut bibirnya tertarik dan senyum lega terbit di sana seolah semua kekhawatirannya tandas sudah. Avicenna memainkan jarinya lagi di gawai, tetapi kali ini dengan perasaan yang jauh lebih ringan. Ia segera mencari kontak Airinda untuk memblokir. Melihat gelagat itu, Bunda langsung memberi teguran lembut.

“Senna, Bunda paham perasaanmu, tapi tidak baik memutuskan hubungan sepihak begitu. Setidaknya, beri Airinda penjelasan dulu.” Ibu Shinta lalu menatap putrinya tegas. “Kamu juga, Venna. Jangan tergesa-gesa menilai orang. Airinda itu juga punya perasaan seperti kalian. Bagaimana kalau kalian dinilai secara tidak adil oleh orang lain? Tidak enak, bukan?”

“Jadi, solusinya gimana, Bunda?” kejar Avenna geregetan.

“Biarkan adikmu sendiri yang menyelesaikan masalahnya dengan Airinda.”

Meski tampak tidak setuju, Avenna tidak bisa berbuat apa-apa jika Bunda telah bertitah demikian. Hanya saja, nalurinya menentang. Ia belum bisa memercayai sang adik seratus persen.

“Senna.” Avicenna menoleh pada Bunda. Wanita itu tengah menatap dirinya serius. "Bunda percaya kamu bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Satu saja pesan Bunda ... jangan pernah mempermainkan perasaan perempuan. Kamu mungkin tidak bisa menyenangkan harapan semua orang, tapi tolong setidaknya jaga dan hargai perasaan perempuan yang paling penting buat kamu, Nak."

Avicenna mengangguk paham. "Baik, Bun."

“Juga tentang kesepakatanmu dengan Dokter Nadya. Mungkin ini seperti kamu sedang cari muka saja di depan ibunya Amanda, tapi jangan lupa kalau kamu dan Amanda itu dulu sangat dekat. Coba kamu bayangkan bagaimana perasaannya jika sikapmu berubah,” ujar Ibu Shinta penuh empati. “Bunda tahu masalah ini rumit, tapi sudah risiko yang harus kamu terima karena mencintai Amanda.”

Kepala Avicenna tertunduk memikirkan perkataan ibunya. Kekeliruannya selama ini seakan dihadapkan di depan mata. Ia telah mengorbankan perasaan Amanda sebagai tumbal.

“Jadi, aku harus bagaimana, Bunda?” Avicenna kalut.

“Menurut Bunda, Dokter Nadya sengaja membuat kesepakatan seperti itu untuk memadamkan perasaan kalian. Kamu sadar, tidak, kalau kesepakatan itu hanya akan merugikan kalian? Pikirkan baik-baik supaya hubungan kamu dan Amanda ke depannya tidak bermasalah, Senna. Bunda akan mendukung kalian berdua.”

“Bu ...,” tegur sang suami. Pak Widiasena terkejut dengan sikap berani yang diambil oleh istrinya.

“Pak, Bunda ini juga perempuan. Bunda paham alasan keberatan Dokter Nadya, tapi Bunda juga tahu rasanya jika ada di posisi Amanda. Bapak juga tahu cerita tentang Amanda, bukan? Lantas sekarang, mana adil ini buat dia, Pak!”

Pak Widiasena tidak berkutik ketika sang istri mulai bicara tentang perasaan. Ah, wanita.

Avicenna merangkul sang ibu erat dari samping sehingga sisi wajah mereka berdempetan. Ia bersyukur memilki ibu yang penuh pengertian dan selalu mendukungnya.

Lihat selengkapnya