Putih Yang Menyamar Hitam

Senna Simbolon
Chapter #2

Ada yang harus berakhir

~Selagi jarak dan waktu masih berpihak, kunikmati saja puing yang masih tersisa; sebelum semua benar-benar lenyap dan tinggal nostalgia~

🥀🥀🥀

Ini jauh lebih baik. Helaan napas berpadu menjadi satu kesatuan ucapan syukur. Aku telah meninggalkan suasana yang mengerikan, tempat di mana seorang gadis bodoh berusaha bertahan. Kesalahan mereka hanya karena memaksaku mencintai hal baru, lalu kesalahan selanjutnya ialah mereka terlalu baik padaku. Sejauh apapun kaki menghindar, kebaikan mereka akan selalu menyambar.

Ada seseorang yang mengatakan bulan dan bintang selalu hidup berdampingan. Saling berbagi cahaya untuk menerangi dan saling berbagi rasa untuk melengkapi. Bulan dan bintang memang selalu bersama setiap malam, tapi di belahan bumi lain; matahari sedang menerangi dan berusaha sempurna walau sendiri. Jika matahari merasa sedih, cahayanya akan sedikit lebih redup dari sebelumnya.

Pernahkah bulan dan bintang berniat untuk menemui matahari atau sekedar menitipkan pesan semangat melalui angin yang berhembus? Kurasa tidak. Matahari akan selalu kesepian dan dipaksa untuk menerangi hidup orang-orang. Penyebabnya hanya satu, keberuntungan tidak berpihak dengan seimbang.

“Mamahmu tidak keberatan, kau pulang cepat?”

“Satu minggu di sana Nesta rasa cukup,” jawabku singkat dan padat.

Bibi menggeleng-gelengkan kepalanya, seakan habis kata dengan pendapatku. Semenjak direbut dari perempuan tua yang sekarang entah di mana, aku harus tinggal di sini bersama mereka. Paman sangat jarang di rumah karena harus bekerja di luar kota. Seperti anak kucing yang telah kehilangan tempat untuk bernaung, aku akan sangat senang bila diangkat menjadi anak. Aku memeluknya sangat erat, serasa rindu sangat kuat.

“Apa Nest masih memikirkannya?”

“Perempuan itu... siapa yang sebenarnya bersalah?” Pertanyaan kejutan membuatku kembali memikirkan dia yang mulai samar diingatan.

“Bibi tidak tahu. Bertemulah dengannya kelak,” pinta Bibi sembari mengelus kepalaku yang berada di pangkuan.

Tidak ada yang bisa memuaskan pertanyaanku, semua seperti teka-teki. Aku hanya perlu menemukan perempuan tua itu. Tidak ada yang bisa kuingat, baik alamat, paras atau apapun itu aku telah melupakannya. Yang tersisa hanya kenangan dan wajah abstrak yang terlintas di benak. Dia selalu menggendong, menyuapi dan menemani tidurku. Jika seperti ini, mungkin rindu yang tidak pernah terobati telah mati tanpa kusadari. Aku pun terlelap dalam rindu yang masih berharap.

Lihat selengkapnya