~Semenjak ada kamu, aku lupa caranya berjalan tanpa tersipu malu. Aku lupa caranya bermimpi saat sedang tertidur, karena saat terbangun sekalipun bayangmu sering menyelinap ke alam bawah sadarku~
🥀🥀🥀
Acara perpisahan adalah hari di mana semua insan akan tertawa dari pagi hingga petang. Baik laki-laki atau perempuan akan merias diri hingga jadi sosok yang berbeda; terutama murid yang telah menyelesaikan masa putih abu-abunya. Mereka akan sibuk membusungkan dada serta menunjukkan rasa bangga. Para adik kelas juga akan sibuk mempersembahkan pertunjukan yang berkesan untuk dikenang. Setelah acara selesai, ratusan tangan akan mulai sibuk merangkul, membenamkan wajah, mengeluarkan isak hingga membuat lusuh menyeruak.
Semuanya telah selesai. Aku tidak berhak lagi memiliki waktu dengan orang-orang ini. Puing yang tersisa telah kupakai sepenuhnya. Setiap orang memancarkan ceria, tidak ada yang terlihat sedih. Hanya ada tangis haru dan bahagia. Kami siap untuk semua hal baru di masa depan. Bukan bagaimana menjadi sempurna di sana kelak, tapi bagaimana menjadi yang kami suka. Ingat! Tidak perlu repot-repot menjadi pribadi yang diharapkan orang lain. Cukup seperti yang kau ingin.
Sejenak aku menarik diri dari kerumunan. Kutelusuri setiap lorong kelas. Ini benar-benar akan jadi yang terakhir kalinya. Setiap sudut memiliki ceritanya sendiri. Ada yang dengan kisah duka, bahagia, bahkan kisah unik dan lucunya. Kaki melangkah secara perlahan, gendang telinga menikmati alunan musik yang menggema; mungkin nyanyian dari seseorang yang terkira.
Aku sudah berdiri di depan kelas pungkasan, kubus yang menjadi saksiku setahun belakangan. Tatapan mata merasuk pada kisah masa lalu. Dulu sebelum semuanya berakhir tidak pernah terpikir akan merindu. Aku memilih kelas ini sebagai tempat terakhir yang kutelusuri karena akan membutuhkan waktu paling lama untuk mengenang. Kejadian yang pernah terjadi, terulang kembali dalam lamunan. Ternyata semua harus tertinggal. Mimpi indah yang pernah kubangun untukmu harus segera pergi, sebab sesuatu yang baru telah menjemput dan ia bernama visi.
“Mau sampai kapan mandangin kelas kita?” Aku terperanjat kala lelaki yang dulu kucinta, mendekat dengan hangat.
“Aku... aku… aku hanya_” Sungguh aku seperti layangan putus saat melihat sorot mata yang memancarkan cinta. Mungkinkah rasa masih ada? Aku bersyukur karena ia melempar tanya.
“Hati membawamu ke sini?” Sata melanjutkan kalimatku dengan apik. Ia masih mengenalku dengan baik. Anggukan kepala kuaktifkan seraya memberi senyuman. “Apa kabar sekarang?” lanjutnya karena sudah mengerti jawabanku yang tanpa suara.
Bukankah aneh bila bertanya kabar dengan seseorang yang selalu kalian lihat setiap hari? Namun, kehadirannya seperti tidak nyata. Ini sebuah kesempatan yang tidak akan terulang kembali. Tidak pernah kupikirkan apa yang akan terjadi.
“Aku rindu persahabatan kita yang dulu.” Aku tidak mengacuhkan pertanyaan Sata.
“Aku tidak tahu ada apa dengan kita, yang jelas aku tidak suka kita berhenti bicara,” ujarnya dengan lugu.