Putih Yang Menyamar Hitam

Senna Simbolon
Chapter #7

Tenggat Cinta

~Semakin bertambahnya usia, kami kehilangan apa yang pernah dibangun bersama. Kami menjadi lebih kaku dari yang seharusnya~

🥀🥀🥀

Singgah di tempat mereka. Aku mencoba peruntungan, atas misi yang sering kutunda. Kita tidak pernah tahu kapan sesuatu yang telah diupayakan meraih keberhasilan, untuk itu aku mau berusaha selama kesempatan masih ada. Bisa saja kita sukses pada percobaan yang pertama, ke lima, ke tujuh atau bahkan yang ke seribu.

“Sebaiknya Nesta pilih jurusan yang prospek kerjanya bagus, jangan buang-buang waktu untuk hal yang tidak bisa menjamin masa depan. Papah dan Mamah akan bekerja keras untukmu,” sapa Papah saat aku baru menyalami tangannya. Apakah ia tidak ingin sekedar basa-basi walau aku tidak menyukainya?

“Nanti kupikirkan, jika sempat.” Aku berlalu menuju kamar tidur.

Kutatap semua sudut rumah tua itu, masih sama dan akan tetap sama. Bahkan perasaan yang berusaha kurubah menjadi cinta pun belum bisa. Kusimpan semua pakaian yang telah dibawa dalam sebuah kopor kecil. Tidak pernah ada niat meninggalkan sehelai baju di tempat ini. Jadi, kubawa pakaianku ketika akan berkunjung dan akan kembali kubereskan ketika pulang. Setiap malam aku selalu berdoa agar tidak pernah kembali, maupun bertemu mereka lagi.

🥀

“Nest, bisa ngajarin Chika belajar ‘kan?” Mamah menghampiriku yang sedang sibuk berkutat pada layar ponsel.

“Memangnya Alfan tidak bisa?” Kukunci layar ponselku. Tatapan Mamah mengharapkan aku tidak mengelak. Mungkin ia sedang berharap kami dapat akrab.

Walau sedikit tidak yakin, aku tetap memutuskan untuk mengajari Chika. Dia adikku yang paling bungsu. Aku memiliki dua adik, Alfan dan Chika. Aku tidak berniat bohong soal tidak pandai mengajari, tapi sampai saat ini hanya Sata yang bisa kubuat mengerti. Sepertinya tidak ada bakat menjadi seorang pengajar.

Chika Inawa, kelahirannya sungguh tidak terduga. Rentang umur kami mencapai tujuh tahun. Saat itu aku hanya bersikap biasa semata dan tidak terlalu acuh. Mencinta tiga sosok yang ada di rumah ini saja sungguh sangat sukar, lalu Chika datang menambah beban untukku belajar.

Kuakui, ia sangat berbeda dengan aku dan Alfan. Kami tipikal anak yang lasak, tapi Chika lebih banyak diam. Ketika berbagai juara kami raih dengan mudah, rapor Chika malah penuh warna merah. Kami cukup mandiri, tapi Chika gadis kecil yang sangat manja. Entah mengapa ia berbeda dari kakak dan abangnya. Wajahku mirip dengan Papah, wajah Chika dan Alfan mirip Mamah. Tidak hanya rupa, aku juga diwarisi sikap keras kepala Papah.

“Chika nggak mau belajar lagi! Capek!” Ia melempar bukunya ke lantai.

“Ini tinggal sedikit lagi Chika. Kau pasti bisa,” dukungku dengan semangat. Wajahnya merengut seakan tidak ingin lagi nurut.

“Papah... Chika enggak mau belajar lagi!” teriaknya pada pembela yang akan membawaku ke dalam masalah.

Lihat selengkapnya