~Sesekali ia melirikku dengan tawa, sungguh itu membuatku salah tingkah. Untung saja aku tidak tersedak kala senyum manisnya meningkat~
🥀🥀🥀
Seperti dugaanku sebelumnya, sebuah bangku di universitas negeri datang menghampiri. Aku mengumpulkan rasa bangga yang tak terkira, tapi nyataku tak sesuai ekspetasi. Dunia kampus penuh keribetan yang mengikuti dan kami dipaksa untuk mandiri. Para dosen tidak terlalu ikut andil dalam memberikan pengumuman pada mahasiswa. Senior menjadi pemeran utama yang mengurus juniornya.
Aku tidak tahu bagaimana semua mahasiswa baru bisa mendapat informasi perkuliahan secara terperinci. Ada yang bilang sosial media dapat menjadi penolong yang baik, tapi aku tidak terlalu percaya perantara yang belum pasti kebenarannya. Beruntung, aku dibantu seorang senior yang berbadan tegap dan berpenampilan memikat. Saat ini tatapan melayang pada wajahnya yang sangat cakap dan aku harus memberinya pengakuan mutlak. Tipe lelaki yang akan menjadi incaran di masa kejomloan.
“Eh kau... cepat ikut aku!” pintahnya dengan berlagak. Aku menatapnya dengan ragu, lalu menunjuk diriku. “Iya Nestapa kau, cepat sini!” pintahnya sekali lagi dan aku sedikit redut karena namaku yang tidak diucapkan dengan tepat. Cukuplah cerita hidup ini yang menyedihkan, jangan sampai namaku ikutan.
Tanpa mau mendengar persetujuan, lelaki itu menarik tanganku secara paksa. Langkahnya yang cepat, membuat kaki lelah mengikuti gerakan sepatu coklat. Dia sangat berbeda dari saat pertama kami berjumpa. Sikapnya manis dan tidak berniat membuatku susah, malah segala bantuan persiapan ospek dikerahkannya.
“Kita ngapain di sini Abangda?” Aku sedikit panik, karena dibawa ke ruang kelas yang sudah tidak berpenghuni.
Seketika saja jantungku menggebu-gebu serta tak mau lagi tertib. Semakin kencang hingga tidak ada yang bisa kurasakan selain detakan. Ia semakin mendekatiku dan wajah kami berada pada satu garis horizontal. Pikiranku sudah melayang entah ke mana, deru napasnya sangat terasa dan hampir saja ia membuatku kehilangan nyawa. Di tengah kalutnya pikiran, aku masih sempat menikmati semburan udara segar dari mulutnya. Aku kira itu aroma min dari permen karet.
“Catat kembali tulisan ini sampai satu buku penuh?” Mulutnya berbisik ke telinga dan seluruh kesadaranku kembali penuh. Sebuah pena dan buku kosong telah diletakkan di atas meja.
“APA....!?” Sungguh aku tidak melakukan salah, tapi mengapa aku mendapat hukuman? Ah tidak, ini sebuah tindakan keisengan. Apa maksudnya menulis kalimat ‘Terimakasih Abangda Depo udah bantuin Adinda.’ berulang-ulang? Pekerjaan yang tidak masuk akal.