Putih Yang Menyamar Hitam

Senna Simbolon
Chapter #12

Diikuti Tanya

~Tidak ada yang bisa kuberi, selain peluk yang meringankan nyeri~

🥀🥀🥀

Sudah dua bulan aku tidak pernah keluar untuk sekadar menikmati hidup. Dunia kampus membuat waktu bermain menjadi terbatas, tapi hari ini aku berniat melakukan ajang balas dendam dan di sinilah kami sekarang. Kulihat tawanya dari pondok yang akan kami sewa. Samar-samar terdengar bahwa kesepakatan telah dibuat. Dengan senyum hangat Raka menyelesaikan percakapan, lalu bergegas menghampiriku yang sedari tadi dibiarkan.

Setiap hal telah berulang-ulang mendapat pemeriksaan untuk memaksimalkan penampilan, tapi setelah mengetahui tujuan, semua berujung penyesalan.

“Seharusnya bilang kalau kita pantai, jadi aku bisa menyesuaikan pakaian,” keluhku dengan memasang wajah cemberut.

“Maaf aku tidak kepikiran, kau bisa menggunakan jaketku biar lebih nyaman.” Raka terlihat merasa bersalah dan mulai melucuti jaket dari badannya. Lalu menyodorkan dengan senyuman.

Aku mendengus kesal sambil melilitkan jaket berwarna hitam pada pinggang. Jika ada sedikit inisiatif, mungkin mulut bisa mengantisipasi kejadian. Mengombinasikan kaos oblong dengan rok selutut menghalangiku menikmati kebebasan. Angin terus melambai menebarkan kesejukan.

Andai saja tadi aku memakai celana jeans, pasti kaki sudah berlari gembira menikmati setiap jengkal pasir yang bertebaran. Ini pertama kalinya aku ke pantai, tapi yang bisa dilakukan hanya duduk di pondok sembari memandang ke arah air yang sesekali bergerak menjadi ombak.

“Masih kesal? Gimana kalau kita memesan makanan?” tanyanya untuk memastikan.

“Tentu saja. Semua yang kurencanakan tidak bisa terealisasi. Bahkan nyata tidak bisa mendekati ekspetasi!” Aku terus menunjukkan muka muram. “Ya sudah pesankan aku seafood yang banyak dan enak!” Akhirnya Raka mengiyakan apapun yang kuminta, ia tidak berani melakukan penolakan. Salahnya sendiri karena membuatku begini.

Raka lari mendapatkan ibu yang tadi diajak bicara, tapi dengan keperluan yang berbeda. Ia terlihat antusias ketika wanita paruh baya itu menunjukkan sebuah menu. Cukup menarik, di tengah wisata pantai, menu juga tersedia. Sekarang kami harus menunggu pesanan datang dan membarenginya dengan perbincangan.

“Aku dipindahkan ke bagian pengecekan barang. Tugasku jadi sedikit lebih santai,” katanya dengan raut bahagia.

“Wah… bagus kalau begitu! Kuliahmu bisa jadi lebih maksimal. Selamat ya.” Tanpa sadar aku sudah kembali ceria.

Mungkin mudah bagi Raka karena semangatnya yang tidak pernah pudar. Sebuah keyakinan pernah diucapkan, gelar sarjana akan diraih dengan uang hasil kerja keras. Aku menghirup lagi aroma tubuh yang masih sama. Bukan bau yang berasal dari parfum, tapi sebuah aroma keberuntungan.

“Apa sekarang kau berubah jadi penguntit?” Seorang yang kukenal memotong dengan tudingan.

“Abangda!?” lirihku masih dalam keadaan tak percaya.

Entah mengapa senior itu bisa menemukan kami. Yang pasti, saat ini ia berada di hadapanku sambil menuduh juniornya sebagai penguntit. Raka hanya tertegun dalam diam. Ia tidak memiliki respons apapun. Aku menjadi sedikit gelagapan.

“Sekarang ikut aku! Penguntit harus lebih dekat dengan target.” Tanpa memperdulikan Raka yang mulai memasang wajah tak suka, Bang Depo meraih tanganku untuk mengikutinya. Sangat tidak sopan. Tanpa meminta ijin ia membawa milik orang lain. Ah… maksudku sahabat orang lain.

Lihat selengkapnya