~Meski tanpa bicara, malam dan pagi saling mengerti kapan harus pergi. Bagi meraka, tidak perlu saling bersama untuk bisa menjaga siklus hidup~
🥀🥀🥀
“Kalau kau diajak ke pesta pernikahan, itu berarti kau dijadikan pasangan.” Penjelasan Gema membuat aku sedikit tak percaya. “Omong kosong kalau kalian bilang cuma sahabatan!” lanjutnya mempertegas ucapan.
“Persahabatan kami itu konsisten, mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Sudalah cepat kasih aku saran pakaian,” paksaku pada Gema yang mulai menggaruk kepala yang tidak gatal dan aku tidak ingin lagi menggunakan busana gagal.
“He’eh cuman sahabatan,” sahut Siska yang sibuk dengan cemilan di mulutnya, kami hanya menggeleng dan kembali pada pembahasan.
“Saran aku pakai gaun aja, tapi jangan yang heboh-heboh amat. Terus nanti tambahkan usapan pelembab, bedak tabur, dan liptint. Alismu enggak usah diapa-apain, udah bagus soalnya. Tapi ingat, jangan berlebihan! Yang nikah bukan kau! Punya nggak? Perlu dipinjamkan make-up?” tanya Gema dengan semangat. Gadis ini memang sangat cerdas urusan penampilan, aku memang tidak salah tempat berkonsultasi.
“Punya walaupun pilahannya terbatas he… he….” Aku nyengir pada dia yang bersedia memberi saran. Lalu ke dua jempol diberikan sebagai respons.
Setelah dipikir-pikir lagi Gema ada benarnya. Sekarang saja rasa suka Raka sedang bergulat dengan jiwaku. Raka sudah punya pacar, tidak mungkin gadis sepertiku berubah menjadi perebut. Sekarang peringatan Bibi sudah menyusahkanku.