~Tidak ada insan yang dapat kupercaya, semua penipu ulung yang menikam secara terang-terangan. Awalnya memberi cinta, lama-lama menyodorkan racun kematian~
🥀🥀🥀
Hati gelisah karena kejutan meliputi jiwa, tidak ada lagi yang bisa kurindukan. Bumi berkabung dan layu, kegirangan suara musik sudah berhenti. Tiada lagi segores senyum yang bisa dilontarkan untuk sekitar. Hati remuk redam, bulan purnama tersipu dan matahari terik telah mendapat tinju. Aku tidak mengerti letak cacatku.
“Gem, kenapa enggak pernah cerita mau pindah kampus?” tuntutku sebuah penjelasan. Aku terus mengikuti dia yang bolak-balik mengurus berkas di ruang administrasi, sedang Siska malah diam tak bertanya. “Gema, ayolah! Kenapa harus pindah sih? Bentar lagi mau semester dua,” ulasku tentang keadaan pendidikan kami. “Gema!?” Aku menahan lengan yang sedari tadi sibuk tak mau berhenti.
“Nest, kau harus tahu ada beberapa hal di dunia ini yang tidak bisa kita lawan. Sekarang kita hentikan aja semuanya, jangan lebih jauh lagi,” kilahnya dengan raut datar.
“Hah? Maksudnya apa sih? Kasih penjelasan dong sama aku dan Siska!”
“Kita enggak usah temanan lagi.” Aku merasa ucapannya sedikit kasar. Lalu apa artinya tidak usah berteman lagi? Aku diam pada pijakanku, Siska juga demikian, tapi Gema sudah pergi mengurus berkas-berkas lagi.
🥀🥀🥀
Dua bulan setelah Gema sibuk dengan urusan administrasi dan menyelesaikan UAS pertama, ia benar-benar terbang ke pulau Jawa. Aku mendapat info dari Siska. Sedangkan padaku ia tak mau bicara. Sudah berulang-ulang kucoba mencari tahu apa yang salah, apa ada perbuatanku yang mungkin menyakitinya? Namun, satu pun tak kutemukan.
Saat aku ingin duduk di sebelahnya, ia akan pergi mencari bangku yang lain. Saat aku menghampiri dia yang tertawa bersama Siska, dia langsung memasang wajah datar dan beranjak menghindar. Mengapa ia hanya menjauhiku? Mengapa rasanya sakit diperlakukan demikian? Kehilangan teman bukanlah satu hal yang mudah. Padahal aku sudah berniat mengukir nama Siska dan Gema sebagai sahabat perempuan pertama.
Malam ini ada seseorang yang ingin kutemui. Aku ingin bercerita tentang kepergian Gema, sekaligus mengingatkan dia akan janji yang seminggu lagi harus ditepati. Aku merasa terguncang, tolong tegapkan kembali kepalaku dan hentikan gemetar pada tubuhku! Karena sangat membutuhkannya, aku datang satu jam lebih awal dari yang kami sepakati. Pantat sudah duduk di salah satu bangku taman. Aku membutuhkan obatku sekarang. Pelukan dari dia yang kucinta, lalu mata sudah bisa melihatnya di hadapan.
“Raka, aku mau cerita kalau Gem_” Aku menjadi sangat bersemangat, meski mata sudah sedikit berair.
“Nest, aku nggak bisa mutusin Lisa. Aku enggak akan ninggalin dia hanya karenamu.”
Aku terdiam dengan kondisi yang tidak lagi terkendali. Telingaku seolah berdengung, denyut nadi dan jantung terhenti, pita suara tercekat, kepala dihantam keras oleh palu besar. Dia ‘kah sosok yang kusebut obat? Aku tidak mampu merasakan tubuhku lagi. Bahkan deru napas pun tidak bisa kuatur dengan baik. Obat itu malah menyakitiku. Tubuh semakin gemetar, pikiran tidak lagi bekerja. Inikah yang disebut kehancuran? Jiwa remuk oleh rasa dicampakkan.
Yang terlihat hanya cahaya lampu nanar, otak rasanya tertembak senapan dan seluruh hidup menjadi kalbu dengan warna yang perlahan memudar. Seketika saja, Raka berubah menjadi bayangan dan secara perlahan berubah menjadi kekaburan lalu hilang lenyap. Hanya suara pelan yang masih terdengar samar-samar.
“Maafkan aku Nest...,” ucapnya tanpa menatap ke manikku. Kakiku mundur dua langkah ke belakang.
“Hah…,” lirihku hampir tak terdengar.
“Kalau kita berjodoh, kelak kita akan dipersatukan Tuhan,” lanjutnya tanpa mau memahami luka di hati. Tidak hanya tergores, tapi sudah tercabik sangat dalam. Sungguh perih dan aku ingin mati.