~Berterima kasihlah pada sang Pencipta, kita tidak akan pernah tahu betapa susahnya Ia menjaga ciptaanNya agar baik-baik saja~
🥀🥀🥀
Hari-hari yang terasa panjang, berhasil kulalui; enam bulan lagi sudah kumenangkan. Sangat berat, tapi tidak setiap saat, hanya di kala hati menunjukkan sikap tidak terima saja. Bila itu terjadi, tangis pecahku harus terkurung dalam kamar. Tidak cukup di situ saja, bantal dan boneka beruang akan menjadi sasaran empuk untuk membekap kegilaan suara dari mulut. Sisanya hanya hari di mana semua terasa sama, terasa tidak berwarna dan tidak perlu menimbulkan emosi apa-apa. Tentu saja aku lebih menyukai tangis pecah yang sesekali menghampiri.
Tuhan menciptakan emosi untuk membuat kita semangat menjalani hari. Ketika amarah telah padam, setelah kesedihan bersembunyi, aku kembali menjadi seseorang yang hitam putih. Tidak ada apa-apa selain tenang dan temaram. Aku semakin terlihat seperti orang gila setiap harinya. Benakku terus meronta dan bertanya, apakah aku masih kuat bertemankan realita?
Aku menutup mulu ketika menangis karena ingin dianggap waras oleh tetangga kamar. Aku tidak mau berbagi dengan mereka; kehidupan pahit yang hanya boleh ada aku di dalamnya. Lagipula, apa mereka akan benar-benar peduli? Bagaimana jika alur hidupku hanya sebatas koleksi cerita dramatis bagi mereka?
Aku pernah mendengar sebuah motivasi untuk orang-orang yang sedang dilanda kekalutan. Seberat apapun tekanan, bertahanlah hingga suatu hari kau mampu bangkit kembali! Jika tidak bisa bertahan semuanya akan selesai, kekalahan sudah menanti. Jadi tetaplah bertahan, tetaplah hidup hingga tiba waktunya melonjak dari kegetiran!
Drrrttt… Drrrttt…
“Ya halo….” Dengan sedikit malas kuangkat panggilan di ponselku.
“Sekarang keluarlah dari kamar sumpekmu, aku sudah di depan dengan keju kesukaanmu!”
Aku membelalak hingga hampir saja biji mataku melompat. Segera kaki berlari ke luar. Aku benar-benar melihatnya sekarang. Tanpa mendapat perintah, badan menerjang tubuh yang semakin gagah. Hati benar-benar sangat merindukannya. Pelukan erat kini kugelayutkan. Air mata mulai tumpah karena penuhnya wadah. Dicobanya melepas tanganku yang semakin kencang, tapi aku memohon jangan.
“Biarkan dulu aku memelukmu sampai selesai. Aku malu dengan wajahku.”
Hembusan napasnya sangat terasa di kepala. Biasanya ia tidak pernah bersikap lembut, tapi kali ini usapan pada rambutku sangat mendamaikan suasana. Aku malu sekali, hati menjadi ciut untuk memperlihatkan raut. Namun, mana mungkin aku terus dalam posisi seperti ini. Kutarik wajah perlahan dan aku masih membuat tatapan ke bumi.