Putih Yang Menyamar Hitam

Senna Simbolon
Chapter #29

More Time

~Setiap manusia akan berubah seiring berjalannya waktu. Begitu juga denganku, boneka kelinci hanya bagianku dari masa lalu~

🥀🥀🥀

Setelah mengantin pakaian, tampaklah lutut yang lecet dan berdarah. Sakit makin terasa kala terkena udara. Semakin kaku dan perih. Bibi mengambil air dan obat merah. Sementara sibuk dengan luka, kami meninggalkannya di ruang tengah. Bibi mulai menceritakan semua yang telah terjadi dengan rinci. Walau meringis, aku tetap mendengarkan dengan teliti.

Perempuan yang dahulu aku panggil Bunda adalah jawaban dari semua penantian panjang. Tanpa sepengetahuanku, Bunda sering datang dan coba menemuiku di kampung. Mamah terus pada api kebencian yang menyala-nyala. Selalu saja Bunda terusir dengan paksa. Sedangkan Papah tentu lebih membela istri tercinta.

Alfan menjadi saksi bisu dari setiap perjuangan Bunda untuk berjumpa denganku. Mamah semakin tidak memperdulikan apapun lagi. Di pikirannya, hanya bagaimana agar aku tetap tersembunyi. Alfan merasa tidak terperhatikan karena Papah juga hanya melirik pada putri bungsunya. Adik lelakiku merasa seperti pajangan yang tidak ada guna.

Selama aku tidak menginjakkan kaki di rumah Bibi, Alfan datang memberitahu semua yang terjadi. Mereka sepakat untuk menemukan Bunda untukku. Alfan tidak membenciku, tapi dia benci sikap Mamah yang selalu hanya ada tentang aku. Sedangkan aku? Menyalahkan Chika yang baru bebarapa tahun ada. Kami saling iri tanpa tahu rasa yang pasti. Mungkinkah Chika juga penuh dengki? Semoga tidak.

Dengan bersusah payah, timku membujuk Papah memberi alamat Bunda. Namun, dengan segala kecurigaan yang ada, Mamah menemukan suaminya tidak lagi berpihak. Mamah gusar dan berusaha menghalangi semua, tapi itu sudah terlambat karena pergerakan Bibi cukup cepat.

“Pergilah! Temui Bundamu, jangan lewatkan kesempatan!” Bibi mengelus pundakku.

Aku melangkahkan kaki yang tertatih, bibir mulai menjadi sasaran gigi. Aku mulai sedikit cemas. Bagaimana kalau tidak ada jawaban yang kutemukan? Bagaimana jika rindu tidak lagi bergejolak? Senyum lembut mulai menyambut. Mata kami saling beradu. Sedari manusia lahir, bentuk, ukuran dan sorot mata akan tetap sama meski tubuh telah termakan usia. Hanya itulah yang kukenali setelah 15 tahun tanpa kata dan jumpa.

“Gracia… kemari sayang!” Air mata tumpah tanda haru yang luar biasa.

Aku memeluk dengan erat, semoga tumpukan rindu yang mengendap bisa tenang. Namun, rasanya sudah tidak senyaman dahulu kala. Terasa asing dan berbeda. Kecupan mendarat pada kedua pipi, isyarat rindu sedang diramu dan aku masih dengan nelangsa yang terpaut.

Lihat selengkapnya