~Mengikhlaskan adalah cara paling ampuh untuk berdamai dengan diri sendiri. Bukankah dendam adalah cara tercepat untuk bunuh diri?~
🥀🥀🥀
Berbagai persiapan telah selesai dengan matang. Liptint dan pensil alis yang tergores tipis memberikan kesan natural dan semua begitu sempurna. Kuhela napas sebanyak dua kali saat layar ponsel mulai disusupi pesan masuk dan sebuah panggilan yang tidak berniat kuberi jawab. Segera kumasukkan ponsel ke dalam tas sandang kecil, mengunci kamar dan melangkah pasti ke arah teras. Ini demi memantapkan hati.
“Apa kau sudah menunggu lama?” Pita suara coba membuka percakapan pertama. Kukenakan flat shoes berwarna coklat gelap dan segera berdiri lalu mengusap celana jeans yang mungkin tertempel beberapa butiran debu.
“Baru nyampe kok,” ujarnya dari atas sepeda motor. Kuambil posisi diboncengan, semoga saja jantungku tidak berdebar terlalu keras. Itu bahaya bila telinganya mendengar.
Karena sudah tidak sabar meluncur, Raka menyerahkan ponsel yang tadi dipakai menghubungiku. Aku menyimpan ke dalam tas sandang dan mulai memberi pelukan seperti sepasang kekasih yang akan berkelana.
🥀
Tiga jam perjalanan telah ditempuh dengan gairah yang bersemangat. Ia segera turun dan memarkirkan motor pada salah seorang penjaga taman bunga di tempat wisata ‘Sapo Juma’. Sangat unik, uang parkir dibayar di muka dan ia segera menerima karcis tanda pemilik. Tangan dengan cepat menarikku masuk ke pekarangan. Sekarang sudah hampir jam 12 siang, tapi suasana dingin masih sangat terasa.
“Bagaimana? Benaran bagus ‘kan?” Ia terlihat bangga dengan tempat yang disarankan. Aku pun mengangguk tanda kami sepemikiran. “Aku sangat senang masih bisa menikmati alam bersamamu.” Senyumnya tipis dan sangat menggugah selera. Semoga jantungku tidak meronta sesukanya.
“Me too,” jawabku masih penuh waspada, barangkali mulut tidak bisa dijaga. “ Kenapa tidak mengundangku ketika wisuda?” layangku pada topik yang berbeda dan Raka terkejut tak menduga. Aku masih ingat kami selisih satu tahun di angkatan kuliah. Jadi sudah seharusnya ia wisuda. “Sudahlah tidak usah dibahas,” ujarku mengakhiri kecanggungan.
“Nest, makasih ya udah maafin aku.”
“Raka, setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Baik di masa lalu atau malah di waktu yang akan datang. Sudah sepatutnya kita saling memaafkan.” Senyumku terlempar dengan tulus dan penuh kedamaian.
“Apa kau haus?” Raka menyodorkan minuman botol yang tadi kami beli di pinggir jalan. Tutup botolnya telah dibuka. Apa ia ingin bersikap romantis atau malah berpikir aku tidak mampu melakukan itu sendiri? Aku cukup tersinggung jika alasannya adalah yang kedua. Perempuan tidak selemah yang lelaki kira.
Kuteguk beberapa kali hingga membasahi bibir yang mulai kering karena udara dingin. Raka mulai memperhatikan diriku dengan sangat lekat dan seolah tidak ingin semua berlalu dengan cepat. Aku gugup dan beberapa kali memalingkan wajah agar tidak diketahui olehnya, tapi Raka masih tidak berniat untuk mengalihkan pandangan.