Jangan tanya arti hidup pada Dio, sebab dia sudah jelas menang dengan memiliki segalanya. Paras tampan, harta kekayaan lebih dari melimpah, popularitas jangan ditanya, dan tentunya keluarga besar yang penuh kekuasaan. Dio adalah wujud nyata dari anak bungsu yang terlahir dari sendok emas dan keluarga bermartabat.
Di lain sisi Tuhan memang selalu adil, meskipun punya semuanya tidak lantas manusia itu langsung hidup bahagia. Dio masih berkutat dengan perasaan kosong yang membolongi hatinya. Penyebabnya tentu masih belum tahu, tapi perasaan itu membuat Dio frustasi sendiri.
Di tengah kesibukan Dio menjadi mahasiswa semester akhir yang sangat sibuk dengan skripsinya, siang tadi dia baru saja mendapat angin segar bahwa bab III dari skripsinya sudah mendapat persetujuan sehingga dapat melanjutkan ke bab selanjutnya. Dalam rangka perayaan tersebut, dia mengundang sepupunya untuk makan-makan di apartemen pribadi miliknya.
Seorang gadis datang tepat saat Dio baru saja menerima makanan yang diantar oleh driver ojol di lobi.
"Tau aja lu, makanannya baru sampe."
Venus nyengir menampilkan deretan giginya yang rapi, "rejeki jadi anak cantik."
"Cuci tangan dulu sono. Gue siapin piring dulu."
"Oke bang, siap."
Dio segera menyiapkan piring dan tiga buah gelas untuk pesta ayam goreng malam ini. "Ve, lu udah WA bang Edgar, kan?"
"Udah. Katanya masih macet, sampe sini sekitar tiga puluh menitan lagi paling cepet, jadi kita disuruh makan duluan."
Dio mengangguk, "oke."
"Bang, lu beneran gak undang Bang Dev, Bang Dino, sama Bang Danzel?"
"Mereka tuh sibuk," Dio terdiam, "lagian kan udah ada lu ama Bang Edgar."
"Ya kan mereka kakak kandung lu, Bang. Jangan bilang kalian masih belum baikan ya?"
"Udah," jawab Dio cepat, "mending kita buru makan deh."
"Terus kenapa sih lu betah banget di apart kecil begini, kalo om sama tante tau pasti langsung diseret balik lu, bang."
"Emang kenapa? Suka-suka gue dong."
Ve menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Cuma elu bang, keturunan Soetanto yang dari kecil emang aneh."
"Udahlah, jangan banyak ngomel. Gue pindah ke sini karena gak mau denger omelan ya."
Dio mengambil duduk di sofa, sementara Ve sudah duduk asal di lantai.
"Ih duduk di bawah aja sih."
"Sorry ya, gue dari kecil gak pernah tuh duduk langsung di lantai."
"Idih gaya lu, Bang. Kek anak Raja aja."
"Ve ... jangan-jangan gue tuh dulunya Raja suatu negara. Makanya gue gak bisa duduk di lantai sampai sekarang," kata Dio dengan wajah serius.
Ve memutar bola matanya jengah. "Lu gila, Bang."
Dio hanya nyengir. "Yaudah yaudah ayo makan dulu aja. Kita doa."
Dio memimpin doa yang diikuti Ve dengan tenang. Meskipun mereka bukan anak yang alim, keduanya selalu diwanti-wanti oleh para tetua keluarga untuk selalu ingat kepada Tuhan dalam segala kondisi. Dan itu berhasil, nasihat-nasihat itu benar-benar tertanam rapi di alam bawah sadar mereka.
Dan pesta pun dimulai.
"Selamat makan," ucap Ve sembari mengambil sepotong ayam goreng yang sudah tersaji di depannya.
"Mari makan," sahut Dio mengikuti.
"Btw congrats, Bang. Akhirnya lu mau lulus juga."
Dio tertawa dengan bangga. "Gue gituloh. Gue seneng banget sumpah Ve. Setelah hampir dua bulan gue dicuekin, akhirnya tuh dosen acc. Gue keren banget sumpah."
"Pede gile lu, Bang." Ve mengambil sepotong ayam lagi dan melahapnya. "Mending lu cari temen deh Bang. Kalo kek gini lu cuma bisa undang gue sama bang Edgar doang kan. Sedih amat."
"Emang lu punya temen?" Tanya Dio sarkas.
Ve spontan berhenti mengunyah. "Banyak."
"Ve, kualitas itu lebih penting dari pada kuantitas. Temen banyak kalo gak tulus bagaimana itu?"
Lagi-lagi Ve memutar bola matanya jengah. "Kata si paling gak punya temen."
"Ve, gue kasih paham ya. Cari temen itu susahnya minta ampun. Semakin tua umur lo, semakin sedikit temen yang lo punya. Apalagi background kita yang di luar prediksi BMKG, semakin susah pula cari temen yang bener-bener tulus." Dio menyingkirkan tulang ayamnya di sebuah piring kertas. "Selama ada uang mah, cari orang buat jadi temen kita gampang, Ve. Tapi buat cari yang bener-bener tulus itu susah."
"Tapi mereka baik kok, bang."
"Contoh baiknya apa? Did they always stay when you have strugle moment?"
"They are."
"Mana ada."
"Mereka kirim bunga pas aku lagi ulang tahun."
"Damn, Ve. Open your eyes. Gue juga bisa kalo cuma kirim bunga. Itu gak sebanding sama lu yang sewa satu resto cuma buat meet up, belum lagi liburan kemarin lu semua yang akomodasi, dan mereka cuma bawa diri."