Pantas saja, gue dipanggil Yang Mulia.
Ini sungguh mimpi paling absurd yang pernah Dio alami. Dio menggaruk rambutnya frustasi. Beberapa ingatan milik sosok bernama Calder tiba-tiba muncul di otak Dio, dia jadi tahu beberapa hal yang tidak bisa dipahami akal sehatnya.
Tok ... tok ....
"Yang Mulia, ini saya Edsel. Dokter istana sudah tiba, Yang Mulia."
"T-tunggu!" Dio langsung panik. Dia bahkan belum siap bertemu siapapun di sini.
"Baik."
Edsel. Lelaki tua itu bertugas sebagai kepala pelayan di kastil putra mahkota. Segala sesuatu yang Calder butuhkan akan selalu Edsel siapkan tanpa banyak tanya. Bisa dipastikan bahwa Edsel memanglah sesetia itu.
Sekarang gue harus rilex.
Ini cuma mimpi. Berarti gue bisa bermain peran.
Tanpa sadar Dio sudah memasang senyum jahil. Dia menarik napas dalam dan memperbaiki posisi duduknya. "Masuklah."
Ini mimpi, gue bisa melakukan apa saja.
Pintu yang sangat besar dan tinggi itu terbuka dengan dramatis, Edsel masuk bersama dengan seorang pria dan dua orang pelayan di belakangnya.
"Saya akan memeriksa Anda, Yang Mulia. Saya mohon izin," kata orang yang sepertinya dokter istana itu.
Pria itu menyentuh pergelangan tangan Calder dengan hati-hati. Pandangan matanya tampak serius, beberapa kali dokter menyentuh pembuluh darah Carlder, entah untuk memastikan sesuatu atau dia belum menemukan sesuatu.
"Ini aneh."
Edsel mendekat. "Apakah terjadi sesuatu?"
Dokter itu tampak mengerutkan keningnya. Dia merasakan energi aneh yang belum pernah ditemui sepanjang karir kedokterannya.
Jika energi manusia yang masih hidup terasa panas, namun tubuh Calder memancarkan energi yang sebaliknya. Energinya begitu dingin, seperti orang yang koma atau sudah meninggal. Tapi Calder terlihat hidup dan baik-baik saja.
Calder menatapnya jengah, di pikirannya hanya terlintas bahwa ini mimpi terpanjang dan terseru selama hidupnya.
"Apa anda benar sudah baik-baik saja, Yang Mulia?" tanya dokter lagi memastikan.
"... ya?"
"Apa anda merasakan sesuatu di tubuh anda?"
Calder memiringkan kepala sembari berpikir tentang kondisi tubuhnya. Memang sih, dia merasakan sedikit tidak enak badan dan kembung di perutnya. Dia juga merasakan pusing dan mual. Hawa ruangan juga sedikit terasa dingin kala menyentuh kulit tubuhnya.
"Biasanya sih ini disebut masuk angin. Tapi ini bakal cepet sembuh kok."
Edsel dan dokter istana menatap Calder dengan wajah kebingungan.
"Bukankah ini benar-benar parah, dokter?" kata Edsel masih dengan pandangan yang tak bisa lepas menatap Calder.
"Saya juga merasa begitu."
"Masuk angin tidak separah itu. Tinggal minum 'Sorong Angin' biasanya sembuh."
Edsel dan dokter makin kebingungan.
Seorang Calder yang biasanya tidak peduli terhadap sesuatu, hari ini berceloteh banyak hal.
"Apakah selama Yang Mulia tidak sadarkan diri, sesuatu melukai kepalanya, Tuan Ed?"
"Tidak. Saya yakin tidak ada yang melukai Yang Mulia." Edsel sedikit panik. "Apakah tidak sadarkan diri selama tiga hari memiliki efek samping yang seperti ini, dokter?"
"Saya belum pernah menjumpai kasus seperti ini."
"Aku gakpapa."
"Saya rasa Yang Mulia harus istirahat lebih lama lagi. Saya akan meresepkan obat untuk anda, Yang Mulia."
"Pfttttt ...," Calder tertawa terbahak-bahak, dia sudah tidak bisa menahannya. Ini mimpi terkonyol yang pernah ada.
Ini benar-benar lucu.
Yang Mulia?
Masuk angin jadi penyakit yang parah?
Ini mimpi tergila sepanjang hidupnya.
"Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia," kata Edsel, dokter, dan pelayan yang berada di dalam ruangan serempak. Sangat kompak, sampai-sampai pasukan paskibraka pun akan kalah.
Semua yang ada di sekitar ruangan ikut membeku dengan keringat dingin. Tawa Calder yang menggema terdengar seperti perintah hukuman mati, itu mencekik dan menyeramkan.
Dio langsung terdiam. Ia baru sadar hanya dirinya yang tertawa tadi. Dia menggaruk dagunya, ini terasa canggung.
"Apa hanya aku yang merasa ini lucu? Kenapa kalian begini?" tanya Calder polos.
Namun lagi-lagi, bagi mereka itu terdengar seperti sarkasme yang biasa Calder lakukan sebelumnya. "Ampuni kami, Yang Mulia."
***
Ratu Thala tengah menikmati waktu minum teh di taman bunga miliknya. Wanita dengan garis wajah yang tegas dan penuh wibawa itu menyecap cangkir tehnya dengan elegan. Kehadirannya seperti lukisan yang terlalu langka untuk jadi nyata.
Tidak lama kemudian, Ramon, ajudan pribadinya datang dengan buru-buru, dia menunduk memberikan hormat tepat kala sampai di depan Ratu.
"Ada apa?"
"Saya akan melaporkan keadaan kastil Putra Mahkota, Yang Mulia Ratu. Berdasarkan informasi dari salah satu pelayan di sana Putra Mahkota sudah siuman."
"Dia benar-benar kucing dengan sembilan nyawa."
"Dokter istana sudah melaporkan keadaan Putra Mahkota kepada Baginda Kaisar, dalam laporannya disebutkan bahwa keadaan Putra Mahkota menunjukkan gejala penyakit yang parah."
Sang Ratu tertawa kecil, "apa dia akan seperti ibunya? Kita lihat nyawanya masih sisa berapa sekarang."
"Dokter belum bisa memastikan, namun yang jelas dalam beberapa hari ini Putra Mahkota masih dalam masa pemulihan dan harus istirahat total."
"Baguslah, dia harus beristirahat." Ratu mengangguk, "pesta perayaan akhir tahun sudah berjalan sampai mana?"
"Semua sudah hampir siap, Yang Mulia."
"Baguslah." Ratu Thala kembali menyecap cangkir tehnya. "Ah... apa Pangeran Reynold sudah bangun?"
"Sudah, Yang Mulia. Pangeran Reynold tengah bersiap untuk kelas mata pelajaran sejarah kekaisaran."
"Pastikan berita Putra Mahkota tidak sampai di telinganya."
"Baik, Yang Mulia."
"Satu lagi, siapkan bunga Lily Oranye, aku harus menunjukkan ketulusanku kepada Putra Mahkota."
"Sesuai perintah anda, Yang Mulia." Ramon menghilang dalam sekejap. Setiap ucapan Ratu adalah perintah mutlak baginya.
***
Sejak kepergian dokter istana, Dio termenung di dekat jendela kamar asing yang mewah itu. Kepalanya makin pusing kala menatap sekitar yang serba berkilauan emas. Di lain sisi, jiwa Dio masih terheran-heran memikirkan mimpinya ini, kenapa terasa nyata sekali, belum lagi ini sudah terlalu lama jika disebut mimpi.
"Yang Mulia, anda harus berbaring."
Dio bahkan mulai nyaman mendengar panggilan 'Yang Mulia' yang ditujukan padanya. Tubuh Calder sangat kokoh jika dibandingkan dengan tubuhnya yang kurus kering. Ini terasa kuat dan nyaman.
"Ed, aku kayaknya beneran masuk angin." Calder mulai berjalan kembali ke kasur ukuran jumbonya.
"Apakah gejalanya muncul lagi, Yang Mulia?" tanya Edsel sedikit panik, "anda harus segera berbaring, saya akan menyiapkan obatnya."
"Tunggu Ed!" cegah Calder yang melihat Edsel bergegas meninggalkannya.
"Apa separah itu, Yang Mulia?"
Calder menggelengkan kepalanya enteng. Perutnya kini terasa amat kosong dan sudah berdendang minta jatah makan.
"Aku lapar. Di sini ada bakso?"
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia mimpi, kan. Seharusnya bakso itu hal yang mudah.
"Bakso?" tanya Edsel kebingungan.
"Eh... gak ada ya."
"Apakah bakso itu sebuah ramuan pereda sakit? Saya akan segera mencarinya jika anda memberi tahu saya keterangan rincinya."
"Lupakan."
"Maafkan saya."
"Dari pada itu, bisa gak ruangan ini ganti design?"
"De...sign?"
Calder mendengus sebal. "Rancangan, maksudku ganti dekorasi. Kepalaku makin pusing sampai-sampai gak bisa memejamkan mata saking terangnya."
Edsel mengangguk paham. "Ah... tapi tungku lilin dan kursi emas yang sudah anda pesan bahkan belum sampai, Yang Mulia?"
Dio terbelalak. Orang gila mana yang memesan kursi emas. Di saat itu juga Dio langsung mendapat ingatan kala Calder memesan segala perkakas yang amat sangat besar berwarna emas mengkilap untuk dekorasi kamar. Dio terheran-heran, kenapa tubuh Calder ini bisa semaniak itu dengan emas.
"Kalo gitu ada kamar lain gak?"
"Yang Mulia, hari ini anda terus mengucapkan kata-kata yang aneh. Sebenarnya apa yang sedang anda bicarakan?"
Ini mimpi, menjelaskan kalo ini mimpi juga tidak ada gunanya.
Calder menggaruk kepalanya frustasi. "Aku lelah. Pergilah. Kalian semua pergi. Eh tapi beri aku makanlah."
"Yang Mulia Ratu Thala telah tiba." Suara seseorang entah siapa itu terdengar nyaring dari balik pintu.
Edsel kembali mendekati Calder.
"Ratu Thala datang mengunjungi anda, Yang Mulia. Apakah beliau diizinkan masuk?"
Apa lagi ini?
"Bahkan di sini aku juga punya banyak ibu." Dio bisa melihat bahwa diingatan Calder, dia memiliki dua ibu tiri yang masih tersisa. "Biarkan dia masuk."
"Baik, Yang Mulia."
"Oh juga tolong cepat siapkan makan untukku, Ed." Calder pasrah, ia benar-benar lapar. "Terserah apapun itu, sebenarnya sudah berapa lama aku gak makan."
"Sesuai perintah, Yang Mulia."
Edsel segera berlalu memberi tahu pelayan supaya segera menyiapkan makan. Tepat Edsel keluar, seorang wanita bangsawan masuk diiringi banyak pelayan di belakangnya.
Ini si ratunya.
Semuanya kompak diam, angin pun seolah ketakutan.
"Karena sedang sakit, putra mahkota tidak perlu memberi salam. Aku bukanlah ratu yang tidak pengertian."
Apaan sih?
"Aku hanya masuk angin."
"Bagaimana keadaanmu sekarang putra mahkota?" tanyanya lagi.
"Aku lapar. Namun, orang lain terus menggangguku."
Sebenarnya orang lain yang Calder maksud adalah Edsel, namun sebagai bangsawan, Ratu mengira itu adalah bentuk serangan untuknya.
"Benarkah?"
"Iya. Dia terus mengoceh hal yang tidak perlu, sudah kubilang aku hanya masuk angin, tapi dia terus saja bertanya."
Ratu tampak menjadi sangat kesal, "mungkin karena sakit, putra mahkota jadi tidak bertata krama. Aku akan memahaminya untuk hari ini."
Calder menatap ratu jengah.
Apa lagi maksudnya?
"Namun putra mahkota harus ingat, aku juga bukan ratu yang baik hati. Karena seseorang merasa terganggu dengan kehadiranku yang tulus ini, aku akan kembali. Jadi putra mahkota harus cepat sembuh."
Ratu menoleh ke arah Ramon, kemudian ia membuka kipas sosialitanya dan kembali berkata, "bunga Lily ini kusiapkan dengan doa supaya putra mahkota cepat pulih. Segeralah sehat seperti terlahir kembali, itu adalah arti dari bunga yang kubawakan."
Ramon segera meletakkan bunga lily itu di meja samping kasur Calder.
"Apakah putra mahkota tidak akan berterima kasih?"