Hari ini Yang Mulia Kaisar memanggil para putri. Semua hadir baik putri dari permaisuri maupun para selir, termasuk aku. Dari kabar yang berembus, Ayahanda Kaisar akan memilih salah satu putrinya untuk dikirim ke Kerajaan Majapahit sebagai tanda persahabatan kedua kerajaan. Pernikahan politik lebih tepat untuk menyebutnya.
Aku berharap tak akan terpilih. Bagaimanapun harus berpisah dari tanah leluhur, tinggal di negeri asing, dan menikah dengan orang yang tak dikenal adalah hal yang menakutkan. Namun, inilah takdir kami, para Putri Kaisar yang tak lebih dari aset kerajaan untuk kepentingan politik.
"Putri Eng Kian, engkau kan yang paling pintar di antara kami, bisakah kau saja yang menerima titah Ayahanda Kaisar?" tanya Putri Eng Li. Dia adik kandungku yang usianya lebih muda satu tahun. Dia tipikal gadis yang ceria dan terbuka terhadap apa yang dia rasa. Ibunda Permaisuri menganggapnya pembangkang karena acapkali menyepelekan tata krama di istana.
"Putri Eng Li, kenapa engkau tega berkata begitu padaku. Kau kan tahu di hatiku hanya ada Panglima Zhao," jawabku. Ya, Tuhan, apa yang harus kulakukan bila Ayahanda memilihku. Bayangan pemuda yang kukagumi berkelebat dalam ingatan.
"Bisakah kalian diam? Ayahanda Kaisar sebentar lagi datang!" hardik Putri Eng Lian. Dia adalah putri tertua Ibunda Permaisuri yang usianya dua tahun di atasku. Sifatnya bertolak belakang dengan Putri Eng Li, dia tipikal putri yang menjunjung tinggi tata krama dan taat pada aturan. Hampir seluruh Istana Keputrian melihat Putri Eng Li seperti jelmaan Ibunda Permaisuri.
Suara pengawal yang memberitahukan kedatangan Ayahanda Kaisar bergema di seluruh penjuru ruangan. Jantungku berdebar. Aku berharap Putri Eng Lian yang terpilih. Usianya sudah cukup untuk menikah dan sempurna untuk menjadi duta pengikat dua kerajaan besar.
"Yang Mulia Kaisar telah tiba!"
Kami buru-buru berlutut memberi hormat. Jubah merah Ayahanda Kaisar yang bersulam benang emas bergambar naga berkibar melewati kami. Di belakang menyusul Ibu Suri, Ibunda Permaisuri, dan Ibu Selir Utama. Suasana menjadi tegang ketika Ayahanda Kaisar duduk di singgasananya. Dia mengangkat tangan memberi tanda agar kami berdiri.
’’Putri-putriku, kalian pasti sudah mengetahui tujuan dari pertemuan ini. Hari ini akan aku umumkan siapa yang mendapat kehormatan menjadi duta bagi kerajaan kita. Kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan besar di benua ini. Dia bisa menjadi sekutu yang menguntungkan. Perseteruan kita dengan Bangsa Mongol sudah cukup menguras energi. Kita butuh bantuan yang sepadan untuk menghalau mereka mengganggu wilayah kita,’’ ujar Ayahanda Kaisar.
Aku sudah menduganya, dikirimkannya salah satu dari kami ke Kerajaan Majapahit adalah untuk menjadikannya sekutu. Namun, dari kecil kami memang telah dididik untuk mengabdi kepada kekaisaran. Kami hidup dalam kemurahan hati Sang Kaisar dan kini ketika beranjak dewasa tibalah saat membalas budi.
’’Raja Majapahit adalah pemimpin muda yang disegani tentunya kita tak mungkin sembarangan memilih putri. Dia haruslah seorang putri yang cerdas, berbudi luhur, dan tentu saja harus menawan. Keturunannya kelak adalah penerus tahta kerajaan,’’ ujar Ayahanda Kaisar. Beliau terdiam sesaat lalu mengamati kami satu demi satu. Kedua netranya berhenti ketika sampai kepadaku,’’Putri Eng Kian, kuberikan anugerah besar ini kepadamu.’’
Aku membelalakkan mata tak percaya. Bagaimana mungkin bisa aku yang terpilih? Bukankah Putri Eng Lian lebih pantas karena usianya lebih tua dariku? Terbayang wajah Panglima Zhao Shen yang kupuja. Aku mati-matian menahan air mata yang nyaris menetes. Tubuhku seperti kehilangan keseimbangan.