Sejak diumumkannya aku sebagai putri terpilih Kaisar yang akan dikirim ke Kerajaan Majapahit, para putri terpecah menjadi dua kubu. Putri yang menghuni Istana Barat membela Putri Eng Lian karena seharusnya tidak dilangkahi olehku. Sementara putri yang menghuni Istana Timur malah begitu bahagia mendengar kabar ini.
Putri Eng Li tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Secara terang-terangan dia memberitahukan kepada semua orang yang dia temui. Aku tahu dia menyukai Panglima Zhao Shen dan dengan dipilihkan aku oleh Ayahanda Kaisar tentunya membuat jalan mendekati perwira itu semakin terbuka.
Ruping ̶ dayang yang melayaniku sejak kecil melaporkan semua tingkah laku Putri Eng Li kepadaku. Dia satu-satunya yang mengetahui hubunganku dengan Panglima Zhao Shen. Dia pula yang diam-diam mengantarkan surat-surat kami.
’’Apakah kabar ini telah sampai ke Panglima Zhao?’’ tanyaku.
’’Putri Eng Li seperti burung yang kicauannya terdengar hingga penjuru istana. Saya yakin kabar ini telah sampai ke telinga Tuan Panglima,’’ jawab Ruping sambil membantuku menghias gelungan rambut dengan tusuk konde pemberian Panglima Zhao ketika mendapat tugas ke perbatasan timur.
Aku menghela napas. Dadaku terasa sesak memikirkan takdir di depan mata, berpisah dengan pujaan hati serta hilangnya peluang untuk bisa bersatu dengannya. Ini adalah derita yang harus kutanggung selamanya. Apakah sampai di sini saja kisah cinta pertamaku? Bagaimana dengan reaksi Panglima Zhao mendengar kabar ini? Akankah dia memperjuangkan aku? Hatiku kian gelisah.
Ingatanku melayang pada peristiwa perjumpaan pertama dengannya. Saat itu Kaisar mengumpulkan perwira-perwira pilihan yang merupakan putra para jenderal dan pejabat istana. Kaisar hendak memilih Panglima Muda. Para putri diam-diam memperhatikan dari jauh ketika mereka dikumpulkan di tanah lapang samping istana. Salah satu perwira menarik perhatianku. Dialah Zhao Shen, putra bungsu Jenderal Zhao yang baru saja lulus dari ujian negara dan kemiliteran istana beberapa tahun yang lalu.
’’Siapa itu yang paling kanan? Wajahnya mirip Jenderal Zhao, ya,’’ tanya Putri Eng Li, ’’Tampan sekali.’’
Aku mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjuk oleh Putri Eng Li. Pada saat yang bersamaan perwira itu menatap ke arahku. Mata kami bertemu selama beberapa saat. Aku merasakan waktu berhenti berputar. Buru-buru aku menunduk untuk menyembunyikan kedua pipiku yang memerah. Sekilas perwira itu tersenyum sebelum pandangannya kembali ke depan. Apakah dia tersenyum kepadaku? Wajahnya sepertinya tak asing. Aku merasa pernah berjumpa dengannya tetapi entah di mana.