Aku mondar-mandir menunggu Ruping. Dia kuperintahkan mencari antingku yang jatuh sebelah. Aku sendiri lupa sejak kapan sebelah telingaku kosong tanpa anting.
’’Apakah sudah kau temukan?’’ tanyaku ketika Ruping muncul dari balik pintu. Aku telah menghilangkan sebelah anting pemberian Ayahanda Kaisar. Anting itu terbuat dari kristal kecil berwarna putih dengan ujung yang menjuntai panjang. Anting itu kudapatkan karena berhasil menjawab pertanyaan Ayahanda Kaisar saat pelajaran tentang kesusastraan.
’’Maafkan saya, Putri Eng Kian. Sepanjang jalan yang tadi kita lalui sudah ditelusuri tetapi anting itu belum ketemu juga,’’ jawab Ruping dengan wajah merasa bersalah.
Aku juga baru menyadari setelah sampai di paviliun bila sebelah antingku hilang,’’ Aku akan menghubungi pengawal istana barangkali ada yang melihatnya ketika melakukan patroli.’’
Seperti Ruping, aku juga sesungguhnya cemas karena telah menghilangkan benda pemberian Ayahanda Kaisar. Akhirnya aku mengajaknya berjalan menuju paviliun penjaga Istana Barat. Belum sampai di tujuan, dari arah yang berseberangan Panglima Zhao Shen berjalan menghampiriku.
’’Salam hormat Yang Mulia Putri. Apakah Anda kehilangan sesuatu?’’ tanyanya.
’’Salam Panglima Zhao. Anda benar, saya sedang mencari sebelah anting yang jatuh entah di mana. Anting itu adalah pemberian Ayahanda Kaisar. Bisakah engkau membantuku menemukannya?’’
Panglima Zhao Shen tersenyum, ’’Saya menemukannya tergeletak di dekat taman,’’ jawabnya sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang terbuat dari kertas.
Áku terkesima saat tangannya diulurkan kepadaku. Aku segera mengambil kotak kecil itu. Mungkin agar terlihat sopan, Panglima Zhao membungkusnya dengan kotak kertas,’’ Terima kasih, Panglima Zhao.’’Ada getar-getar saat jari kami bersentuhan tak sengaja. Aku melihat dia pun sedikit terkejut meskipun selang berapa detik raut mukanya kembali seperti semula.
’’Saya izin permisi dulu, Yang Mulia,’’ pamitnya sambil berlalu dari hadapanku.
Aku mengangguk lalu memasukkan kotak itu dalam kantong kain di balik baju. Ruping mengiringiku menuju paviliun tempatku tinggal. Musim semi seakan mulai lebih awal. Jantungku berdebar merasakan benih-benih rasa yang bertunas di hatiku.
Sesampainya di kamar segera aku membuka kotak kertas pemberian Panglima Zhao. Di dalamnya terdapat sebelah antingku yang hilang dan juga sebuah kertas kecil. Aku menengok ke kanan dan ke kiri memastikan tak ada orang lain yang melihatku. Aku melihat Ruping keluar untuk menyiapkan minuman yang kuminta.
Di Istana Barat ada yang berkilauan