Setelah bertugas selama hampir satu pekan, Zhao Shen akhirnya memilih satu asisten yang bisa dia percaya. Dia bernama Han Wen, usinya mungkin sebaya dengan Putri Eng Kian. Pagi hari sebelum apel rutin dimulai, Han Wen melaporkan bila ada dayang dari paviliun putri menunggunya di luar.
’’Seorang dayang bernama Ruping menunggu di luar, Tuan Panglima. Dia hendak mengembalikan barang yang Tuan pinjamkan tempo hari,’’ lapor Han Wen.
Zhao Shen hanya mengeryitkan dahi. Dia tak mengingat telah meminjamkan sesuatu apalagi kepada seorang dayang,’’Izinkan dia masuk,’’ balasnya.
Tak berapa lama, masuklah seorang gadis berseragam dayang. Dia memberi salam hormat lalu menyerahkan sebuah kotak kertas yang tak asing di mata Zhao Shen. Kotak yang dia buat untuk Putri Eng Kian.
’’Maafkan kelancangan saya, Tuan Panglima. Sepagi ini saya datang mengembalikan barang yang tempo hari saya pinjam. Terima kasih, saya permisi dahulu,’’ ujar Ruping.
’’Terima kasih, Ruping,’’ balas Zhao Shen.
Setelah Ruping pergi meninggalkan ruang kerjanya, Zhao Shen segera membuka kotak dengan hati-hati. Di dalam kotak terdapat lipatan kertas kecil. Ada yang berdesir di dadanya. Putri Eng Kian membalas perasaannya melalui sebait puisi yang bagaikan tulisan terindah sepanjang masa.
Di Istana Barat ada hati yang sedang menunggu
Zhao Shen segera menyimpan surat kecil itu di balik jubahnya ketika Han Wen masuk ke dalam ruangan,’’Ada apa, Han Wen?’’
’’Ada yang menitipkan surat kepada saya, Tuanku,’’ jawab Han Wen lalu menyodorkan sebuah surat,’’ Baru saja seorang dayang mengantarkannya lalu pergi begitu saja.’’
Zhao Shen menatap heran. Apakah Putri Eng Kian berkirim surat lagi? Batinnya bertanya. Han Wen lalu pamit mengundurkan diri setelah surat berada di tangan Zhao Shen.
Panglimaku
Aku adalah pengagum tatap ramahmu
Tak ada yang bisa mencuri bunga berharga di paviliunku
Kecuali Putra Sang Jenderal
Putri Eng Li
Zhao Shen meremas surat dari Putri Eng Li dan memasukkan kembali ke dalam amplop kertas berwarna cokelat. Bagaimana mungkin Putri Eng Li begitu berani berkirim surat kepada dirinya, menyatakan perasaan begitu terang-terangan. Dibandingkan dengan para putri, putri bungsu permaisuri memang terlihat lebih terbuka menunjukkan sikapnya. Zhao Shen harus segera bersikap tegas agar salah paham tidak membuat segalanya runyam. Dia memilih meremas surat dan meminta Han Wen membakarnya.
Selama beberapa hari Zhao Shen menjadi gusar. Dia memikirkan cara agar bisa membuka jalan untuk memiliki Putri Eng Kian. Saudara tertuanya bisa menikah dengan Putri Xue Xi, putri sulung Selir Utama. Tentunya tak sulit baginya untuk mendapatkan Putri Eng Kian. Dia hanya perlu menunjukkan kepada Yang Mulia Kaisar bahwa dia layak untuk Sang Putri.