Istana Teratai terletak di dalam Komplek Istana Terlarang. Aku menempati sebuah paviliun yang cukup besar di dalamnya dengan sebuah taman pribadi. Sebuah kolam dengan air mancur terletak di tengah taman dengan ikan-ikan kecil aneka warna menghiasi. Di sini terlarang bagi pengawal laki-laki, yang diizinkan tinggal adalah para kasim dan pengawal wanita. Istana ini terdiri dari beberapa paviliun tetapi sebagian besar telah kosong. Selir-selir kesayangan kaisar terdahulu tinggal di dalamnya. Sekarang digunakan untuk memingit para putri yang akan dikirim sebagai duta kekaisaran.
Sejak perpisahan dengan Panglima Zhao Shen, hari-hariku terasa kelabu. Gerak-gerikku dijaga ketat oleh pengawal khusus yang dikirim oleh Ibunda Permaisuri. Namun, Ruping selalu berhasil mendapat informasi yang kubutuhkan. Dia mendekati para kasim dan dayang, mencoba mencari orang yang bisa dipercaya. Meskipun terkadang informasi tersebut harus dibayar dengan sejumlah uang yang tak sedikit.
’’Yang Mulia Putri, saya mendengar Panglima Zhao Shen telah berangkat ke perbatasan utara seminggu yang lalu. Jenderal Zhao tampakyua kecewa dengan keputusan ini. Perbatasan utara adalah wilayah yang berbahaya karena bersinggungan dengan Bangsa Mongol,’’ lapor Ruping.
’’Ayahanda Kaisar telah mempertimbangkan dengan seksama. Kondisi di sana akan membantu Panglima Zhao melupakanku. Dia akan sibuk dengan tugas barunya menjaga perbatasan. Mungkin lambat laun dia akan bertemu dengan penggantiku pula,’’ ujarku pilu. Kenyataan bahwa suatu saat dia akan menikahi wanita lain membuat nyeri di ulu hati ini.
Ruping menatapku tanpa mata sayu,’’Yang Mulia…,’’ lirihnya.
’’Aku mendengar guru khusus yang akan mengajariku bahasa dan adat istiadat Majapahit akan sampai di istana petang nanti. Apakah kau sudah mendengar kabar ini?’’ tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
Ruping mengangguk,’’Namanya Ha Ruaya. Dia berasal dari Suku Hui yang lama tinggal di Trowulan. Dia dikirim oleh Raja Majapahit secara khusus atas permintaan Yang Mulia Kaisar,’’ jawab Ruping.
Aku hanya terdiam. Suku Hui telah lama hidup berdampingan dengan kami, Suku Han. Mereka memiliki keyakinan yang berbeda. Kami menyebutnya Tainfang Jiao*. Namun, tak ada persinggungan antara kepercayaan mereka dengan kami bahkan Laksamana Cheng Ho yang ternama berasal dari Suku Hui. Tempat ibadah mereka didirikan di Ibukota sejak zaman Dinasti Yuan. Mereka menamakannya Masjid Dongsi. Di masa pemerintahan Ayahanda Kaisar yang sekarang Suku Hui memegang peranan penting termasuk masuk di jajaran pejabat istana.
’’Ruping, apakah kau mau ikut denganku ke Majapahit?’’ tanyaku.
’’Hidup dan mati saya bersama Anda, Yang Mulia,’’ jawab Ruping mantap.
’’Tidakkah kau mau kebebasanmu. Aku bisa memohon kepada Ayahanda Kaisar agar kau bisa keluar dari istana. Kau bisa hidup tenang dan bahagia di luar sana lalu bertemu dan menikah dengan lelaki yang kaucintai,’’ tawarku. Sesungguhnya itu adalah impianku. Seandainya bisa, aku ingin melepas semua gelar dan kemewahan di istana ini agar bisa hidup bersama Panglima Zhao Shen. Kami bisa hidup sebagai rakyat kebanyakkan tanpa pusing dengan segala kepentingan politik yang memuakkan.
’’Yang Mulia, tolong jangan usir saya,’’ pinta Ruping sambil berlutut,’’ Saya hanya memiliki Anda. Keluarga saya sudah meninggal karena wabah sejak saya masih kecil. Selain Yang mulia Putri, tak ada siapapun lagi yang saya miliki di dunia ini,’’ratapnya.
Aku menatap Ruping sambil tersenyum haru,’’…dan aku hanya memiliki kau saja saat ini. Ayahanda dan Ibunda telah membuangku begitu jauh ke negeri seberang. Sebelah jiwaku pun telah dipisahkan dariku. Hidupku kini terasa hampa, Ruping,’’ ujarku terisak.
Ruping terdiam mendengar isakku. Aku hanya melihat lelehan dari sudut netranya.
***
Seorang wanita paruh baya mengenakan pakaian adat Suku Hui. Pakaiannya tertutup rapat hingga leher. Sebuah hiasan kepala menutup rapi rambutnya. Manik-manik menjuntai di sisi kanan dan kiri wajahnya. Dia menunduk memberi hormat setelah Kepala Dayang Istana Teratai mempersilakan dirinya masuk ke dalam ruanganku.