Putri Eng Kian Sang Permaisuri

widyarini
Chapter #16

Sang Prabu Jatuh Cinta

Rombongan kereta kuda yang membawaku ke Trowulan disambut oleh upacara khusus. Aku melihat bendera dan lambang Kerajaan Majapahit diusung oleh para prajurit. Lambang itu bernama Surya Majapahit dengan bendera berwarna merah dan putih yang berselang-seling. Panji-panji kebesaran itu terlihat di sepanjang jalan menuju istana hingga sampai pada gapura pertama. Gapura tinggi menjulang itu tersusun dari batu bata merah membentuk desain yang kuat dan kokoh. Begitu tingginya hingga aku berpikir mungkin itu setinggi sepuluh manusia dewasa yang berdiri berderet ke atas langit.

Prajurit Majapahit mengenakan pakaian yang asing di mataku. Mereka bertelanjang dada dengan kalung yang menunjukkan kedudukan dalam hirearki kerajaan. Para wanita mengenakan pakaian yang terbuka di bagian bahu. Aku menundukkan wajah karena malu. Mungkin karena cuaca yang berbeda maka pakaian mereka menyesuaikan.

Aku turun dari kereta dan disambut oleh beberapa orang wanita yang kutebak mungkin para dayang dan seorang bikhuni yang memercikan air suci sebagai tanda kedatanganku disucikan sebelum menghadap Sang Raja. Doa-doa pun dilantunkan.

Semua pasang mata terkesima melihatku. Mungkin karena aku berbeda. Mayoritas mereka berkulit sawo matang dan bermata lebar sedangkan aku berkulit putih dengan mata yang kecil. Aku berjalan dengan diiringi para dayang dan prajurit. Dinding sekeliling istana tersusun dari batu bata merah yang tinggi hingga beberapa tombak. Di salah satu sisi terdapat pos tempat prajurit berjaga. Pada sisi depan gapura terdapat bangunan panjang yang digunakan untuk melakukan rapat. Setelah memasuki gerbang utama terdapat satu gerbang lagi menuju Istana Raja. Pada salah satu sisi berdiri megah balairung tempat tamu menunggu sebelum bertemu dengan Sang Prabu.

Di depanku berdiri seorang pria yang mungkin berusia sepuluh tahun di atasku. Dia berdiri tegap menunjukkan kewibawaannya. Makhota yang terbuat dari emas dan permata menjulang tinggi di atas kepalanya. Dia menatapku dengan seksama lalu menyunggingkan senyum. Aku langsung menjura memberi hormat kepadanya. Dia adalah Sang Prabu Majapahit.

’’Selamat datang Putri Eng Kian,’’ sapanya dalam bahasa Tiongkok dengan aksen Jawa lalu kemudian mengulang lagi dalam Bahasa Jawa.

Aku tersenyum mendengarnya,’’Salam hormat hamba, Gusti Prabu. Saya adalah Putri Eng Kian, putri kedua Kaisar Zhu,’’ jawabku dalam Bahasa Jawa. Aku begitu berhati-hati dalam pengucapan kata demi kata memastikan tak salah melafalkan.

Kedua netra Sang Prabu terbelalak lalu tersenyum puas,’’Tak sia-sia aku mengirimkan guru khusus jauh-jauh ke Tiongkok. Pelafalanmu nyaris sempurna,’’ pujinya.

Usai penyambutan itu, Sang Prabu memberikan paviliun khusus untukku. Sebelumnya aku mendengar, dia memiliki banyak selir. Hal yang wajar sama seperti kaisar di negeriku. Kehadiranku apakah nanti akan disambut dengan ramah oleh para selir? Aku sudah merasa was-was saja.

Beberapa dayang dikirim khusus untuk membantuku. Aku sendiri hendak menolak tetapi takut menyinggung Sang Prabu. Di paviliunku telah tersusun rapi banyak kain dan perhiasan yang indah. Aku sendiri tak berniat mengenakannya. Bagaimana mungkin aku akan memakai pakaian dengan bahu yang terbuka. Mungkin di negeri ini dianggap biasa tetapi di negeriku jelas berbeda. Pakaian wanita di negeri ini terdiri dari kain panjang yang dililitkan ke seluruh tubuh mulai dari dada hingga ke ujung kaki. Kain itu mereka sebut sebagai batik yang bermotif unik di mataku. Aku melihat perhiasan emas dan permata yang yang pernah digambarkan oleh Madam Ha di dalam peti kayu. Ada gelang lengan, gelang tangan, kalung bersusun untuk menutup dada, ikat pinggang, anting, dan hiasan lain yang bentuknya unik di mataku. Apakah aku akan mengenakan semua itu?

’’Yang Mulia Putri, nama saya Mirah. Saya adalah dayang khusus yang diperintah untuk melayani Anda. Saya bisa membantu Yang Mulia mengenakan baju yang telah disediakan oleh Gusti Prabu,’’ sapa Mirah. Gadis berkulit sawo matang itu tersenyum ramah dan tulus.

Ruping hanya terdiam. Dia masih belum memahami Bahasa Jawa. Namun, sepertinya dia paham bila Mirah sedang memperkenalkan diri dan menawarkan bantuan.

’’Aku yang akan melayani Yang Mulia Putri,’’ ujar Ruping sambil menatap Mirah dengan wajah tak suka.

Mirah tampak kaget dan tak mengerti apa yang dikatakan oleh Ruping,’’Saya dayang yang ditunjuk Gusti Prabu untuk melayani Yang Mulia Putri.’’

Lihat selengkapnya