Putri Kiai yang Tak Berhijab (2)
(Kekhawatiran Para Orang Tua Santri)
Semua warga yang ada di sana sontak kaget dan seketika menatap tajam wajah gadis berparas manis itu, dengan penuh tanda tanya.
Sementara Ulfah langsung memegang dadanya sendiri karena syok. "Astagfirullahaladzim, tidak mungkin anak saya yang melakukannya."
Para pengajar lalu mencoba menenangkan perempuan berusia empat puluh tahun tersebut, sedangkan Kiai haji Imron hanya mengucap istigfar.
Beliau sangat mengenal cucunya. Mustahil Syafira melakukan hal keji seperti itu. Akan tetapi, pria tadi terus menunjuk ke arah sang cucu.
Syafira sendiri sangat kebingungan dan syok, karena tidak merasa melakukannya. Wajah gadis itu pun mendadak pucat pasi.
"Berarti benar yang saya lihat tadi malam!" cetus salah satu warga. "Semalam saya melihat Ning Syafira pergi ke kebun yang ada di belakang pondok, sekitar jam satu malam. Tapi anehnya, dia tidak memakai hijab. Pria ini juga tadi ditemukan terikat penuh luka di pohon nangka di kebun belakang pondok. Apa mungkin---"
"Tunggu sebentar, Pak." Ulfah memotong ucapan si warga itu.
Apa Bapak mau menuduh anak saya yang melakukannya?"
"Maaf, Ustazah, bukannya begitu, tapi saya benar-benar melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau itu adalah Ning Syafira. Mata saya masih sehat loh, tidak rabun. Saya sangat yakin kalau itu adalah anaknya Ustazah!" jelas warga tersebut.
"Lantas, sedang apa Bapak jam satu malam berada di sekitar pondok? Dan siapa saja yang melihat anak saya pergi ke kebun tanpa menggunakan hijab, selain Bapak?" tanya Ulfah menyelidik.
"Saya tadi malam ke rumah Mang Jajang sendirian karena ada perlu, saat pulang melewati pesantren, saya melihat Ning Syafira ke luar dari pondok," ungkap si warga tadi.
"Sudahlah, jangan berdebat. Lebih baik kita serahkan kasus ini kepada polisi, biar mereka yang urus!" Pak RT mencoba mengamankan suasana yang mulai terasa tegang.
Tidak lama berselang, bunyi sirene ambulance pun terdengar. Para tugas lalu turun dari mobil dan mendekati pria yang terluka itu untuk memeriksa kondisinya.
Namun, saat urat nadi di lengannya disentuh, ternyata pria tersebut sudah meregang nyawa beberapa menit sebelum ambulance tiba di lokasi. Mereka lalu membawa mayat itu ke rumah sakit untuk di autopsi.
Setelah ambulance pergi, polisi akhirnya datang. Mereka mengintrogasi semua warga di sana. Syafira juga sempat akan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan, karena menjadi orang yang tertuduh.
Akan tetapi, karena bukti dan saksi lemah, Syafira pun tidak jadi dibawa. Sang ibu sangat bersyukur dan bergegas mengajak putri semata wayangnya pulang ke rumah.
Setelah sampai, Ulfah duduk di sofa seraya membuang napas kasar, sedangkan Syafira langsung masuk ke kamarnya.
"Bah, bagaimana ini? Ulfah takut kejadian waktu itu terulang." Perempuan tersebut tampak gelisah.
Sang ayah yang duduk di samping anak perempuannya itu seketika menoleh. "Astagfirullahaladzim. Apa yang kamu katakan, Nak? Lupakanlah kejadian itu, bukannya kamu juga sering menyuruh abah melupakannya juga? Kenapa sekarang kamu malah mengungkit-ngungkit?"
"Tapi, Bah, apa maksudnya dengan pernyataan warga tadi? Dia mengaku melihat Syafira ke luar malam-malam tanpa memakai hijab? Itu kan mustahil. Abah juga tahu sendiri kalau Syafira tidak pernah lepas dari hijabnya. Orang itu pasti sengaja ingin memfitnah keluarga kita!" Ulfah terlihat emosi. Wajahnya yang putih mendadak memerah menahan amarah.