Kabut malam menggantung tebal di antara batang-batang pohon hutan lembah. Angin yang biasanya lembut kini membawa bau amis luka terbuka, tanah lembap, dan bau busuk hati manusia.
Di tengah kegelapan, terdengar teriakan lirih dari balik semak-semak yang lebat.
“A-aah… tolong… tolong…”
Teriak kecil itu berasal dari seorang anak kecil—Thomas—tubuhnya kotor, pakaiannya robek, dan pergelangan tangannya terikat tali kasar. Ia jatuh terduduk, tubuh kecilnya penuh lebam, darah mengalir dari pelipisnya.
“Diam kau, bajingan,” bentak seorang lelaki jangkung bertubuh besar dengan suara serak seperti kerikil yang dikunyah. Ia menendang perut Thomas dengan sepatunya yang berat.
Thomas menggeliat, menangis, tetapi teriakannya hanya ditanggapi oleh tawa dingin lelaki itu.
“Teriaklah sekeras-kerasnya, dasar bajingan, tak seorang pun akan menolongmu di hutan ini,” gerutu lelaki itu. “Menangislah… lebih keras…”
Dari seberang api unggun, seorang pria gemuk dengan wajah berminyak menyeringai dan meludah ke tanah. Ia duduk bersandar pada peti kayu yang penuh dengan rantai dan karung tua.
“Oi, Bragg… sudah cukup. Jangan rusak barangnya, atau harga jualnya akan turun,” kata pria gemuk itu dengan suara malas namun sinis.
“Dia hanya seorang anak laki-laki. Siapa yang akan membeli anak kurus seperti ini?”
“Selalu ada pasar untuk pekerja budak, dasar bodoh,” pria gemuk yang dipanggil Garel itu mencibir. “Tapi kita butuh barang bagus. Gadis-gadis cantik. Atau… wanita berdaging segar, hmm.” Matanya menyipit penuh nafsu, “Terutama yang berkulit bersih dan berdada montok.”
Brag terkekeh serak. “Jika kita mendapatkan sesuatu seperti itu, aku akan mencicipinya sebelum menjualnya. Heh.”
“Hewan. Ingat, ini belum menjadi wilayah resmi. Tapi kalau kita menemukan desa yang tidak memiliki patroli kerajaan…”
“…Kita akan menjemput mereka satu per satu. Dan tidak akan ada yang menyadari mereka hilang. Heh.” Bragg meretakkan jarinya. “Aku bahkan berharap kita bisa menculik seorang anak di desa itu. Ada seorang gadis kecil berambut perak yang cantik. Heh. Atau ibunya, seorang wanita seksi yang… mmh.”
Mereka tertawa. Bodoh.
Karena mereka tidak tahu bahwa malam itu bukan milik mereka.
Melainkan milik bayangan yang haus darah.
Langkah Kaki yang Tak Terdengar...
Dari kegelapan, dia datang.
Dengan langkah diam seperti roh pendendam dari neraka, Marry el Rose mengikuti jejak darah dan ranting patah. Aura dingin dan mematikan menyelimuti tubuhnya. Jubah hitamnya menyatu dengan malam, dan matanya bersinar biru redup seperti cahaya bulan di ujung dunia.