Putri Mawar Darah Hanya Ingin Hidup Damai Bersama Putri Kecilnya

Eldoria
Chapter #6

Vol 1 Bab 6: Algojo Darah Dikira Pahlawan Bayangan

Membersihkan Jejak…

Keheningan menyelimuti hutan malam, setelah kematian dua pedagang budak. Api unggun telah padam. Kegelapan kembali menyelimuti suramnya hutan.

Sinar rembulan menyelinap di antara celah-celah dedaunan, memperlihatkan tanah berlumut yang dibasahi genangan merah. Organ-organ berhamburan. Potongan daging berceceran. Seonggok mayat terkapar seperti anjing mati di tanah lembab.

Marry El Rose berjongkok di tengah ladang pembantaian. Ia memeluk bocah laki-laki berambut hitam yang hampir merengang nyawa.

Cahaya bulan terpantul di matanya. Mata birunya terlihat berkaca-kaca. Ia sedih bukan karena telah membunuh dua penjahat, tapi hampir gagal menyelamatkan anak kecil yang tak berdosa.

Marry berjalan ke sisi tanah yang ditumbuhi rerumputan. Ia menurunkan bocah kecil itu dengan hati-hati.

Kemudian ia kembali ke tanah berlumut yang dinodai darah. Ia menjentikan jarinya.

“[Blood Rose Manipulation: Blood Rose Tendrils]!”

Tanah lumut retak, dari celah-celah tanah, sulur-sulur mawar darah keluar. Sulur-sulur dipenuhi duri, berwarna merah pekat.

Mereka itu tumbuh, melingkar, melilit dan berayun di udara seperti tentakel-tentakel tanpa lendir.

Blood Rose Tendrils, monster familiar berwujud sulur-sulur mawar darah yang menjadikan para pendosa menjadi pupuk.

Mawar-mawar darah mekar di ujung sulurnya, berbisik seperti monster kelaparan.

Sulur-sulur mawar darah bergerak, menyeret setiap kepingan jasad Garel dan melahap mayat Bragg.

"Krak… Kraakk…"

Bunyi tulang retak, darah terserap, dan daging dikunyah. Bahkan pakaian dan pedang para penjahat tak luput dari pelahapan.

Tak ada rasa jijik. Tak ada rasa kasihan. Sulur-sulur mawar darah itu hanya memakan mangsa layaknya predator memakan mangsanya.

Marry menyaksikan pembersihan itu dengan tenang. Mata birunya tetap dingin, membiarkan familiarnya melahap semua jejak para pendosa. Sampai bersih… tak tersisa.

Beberapa saat kemudian... bangkai para pedagang budak itu telah menjadi pupuk. Marry mendekati sulur-sulur mawar darah itu. Tangan halusnya menyentuh kelopak-kelopak mawar darah. Monster mawar darah itu mendengkur seperti menikmati belaian majikannya.

Kemudian, Marry menyentuh tanah dan menatap sulur-sulur mawar terakhir kali.

"Kembali!"

Sulur-sulur mawar darah bergetar… dan bergerak mundur masuk ke tanah. Retakan tanah menyempit. Dan ketika bunga mawar darah terakhir layu. Sulur-sulur mawar darah menghilang. Hutan kembali sunyi.

...

Marry berbalik dan mendekati tubuh mungil Thomas yang terbaring di rerumputan. Tubuh mungilnya diwarnai bintik-bintik merah dan biru, penuh memar. Wajah bocah itu pucat, napasnya tersengal-sengal.

Marry membisu sejenak. Ia menatap Thomas dengan mata berkaca-kaca. Ia hampir gagal menyelamatkan bocah kecil itu. Ia menghela nafas.

Ia mengambil sebotol kecil cairan ungu keperakan yang bergantung di pinggangnya, potion regeneratif dan penenang.

Ia duduk di rerumputan dan menyandarkan kepala mungil bocah itu ke pahanya. Lalu ia membuka mulut bocah itu perlahan… dan menuangkan cairan potion.

Setetes, dua tetes, cairan itu meneteskan ke mulut mungil bocah itu.

Beberapa detik berlalu… Anak laki-laki itu menggeliat, kesakitan. Cahaya perak bersinar kelap-kelip dari tubuhnya, menerangi hutan yang suram. Memar merah dan biru perlahan-lahan memudar. Luka-luka dan lecet beregenerasi.

Ketika sinar perak itu meredup, rasa sakit memudar. Dan bekas memar dan luka-luka di tubuhnya menghilang, seperti dia tidak pernah dipukul.

Kelopak matanya hitamnya perlahan-lahan terbuka…

“U-ugh… d-di… di mana aku…?”

Marry menarik tudung jubahnya sedikit lebih dalam, menyembunyikan wajahnya. Ia membuka bibir merahnya… terdengar suara merdu dan lembut.

“Kamu aman sekarang.”

Thomas kecil mendongak, menatap sosok gadis muda berjubah merah tua di depannya. Matanya terbelalak.

“Si… siapa… kau…?”

"Aku bukan siapa-siapa… Aku hanya kebetulan lewat."

Thomas berusaha duduk. Dia menoleh ke kanan ke kiri, mencari pria-pria kasar yang memukulinya.

“P-pedagang… budak itu…?” Suaranya bergetar. “M-mereka… k-kemana…?”

"Mereka sudah lari ketakutan." Jawab Marry singkat. "Kamu tidak perlu takut lagi."

Thomas berdiri, menyentuh tubuhnya. Dia memeriksa setiap inchi tubuhnya. Tangan, perut, wajah, semua memar dan lukanya telah sembuh.

“Ha… ha… ini… semua… hilang…?” Bisiknya nyaris tidak percaya.

Hanya pakaiannya robek yang tersisa sebagai saksi atas kekejaman para pedagang budak itu. Dia menatap Marry dengan takjub.

“A-apakah… k-kamu… o-orang yang… s-selamatkanku?”

Marry mengangguk pelan.

Thomas tertegun sejenak. Dia teringat dongeng anak-anak yang sering diceritakan Neneknya sebelum tidur. Matanya terbelalak.

“J-ja… jangan bilang… k-kau—”

Marry menegang sejenak. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Apakah Thomas kecil sedikit sadar… saat pembantaian itu?!” gumam Marry dalam batinnya.

“Ka-kau… pasti… p-pahlawan bayangan… y-yang suka menyelamatkan orang… lalu… h-hilang begitu saja… i-itu…?”

Lihat selengkapnya