Pagi yang Damai…
Pagi di Lembah Mawar cerah seperti biasa. Angin membelai lembut kelopak bunga mawar liar yang bermekaran di sepanjang jalan desa. Aroma wangi bercampur embun basah menciptakan ketenangan yang hanya bisa ditemukan di tempat damai.
Di sebuah rumah sederhana di pinggiran desa… di kamar yang hangat, seorang gadis kecil terlihat sedang duduk di pangkuan wanita berambut perak.
Marry El Rose, sang mantan algojo, kini hanyalah seorang ibu sedang menyisir rambut perak putri kecilnya.
“Terus sisir rambut Caelan, Mom. Caelan suka. Hehe…”
Caelan El Rose tertawa pelan sambil memeluk boneka kelinci kesayangannya.
Marry terkekeh… dan terus menyisir setiap helaian rambut putrinya.
Caelan menikmati perhatian Mamanya. Dia mulai bersenandung lembut.
“La… laa… laa… lala… la… laa… la… laa… La… laa… la…”
Marry tersenyum sambil mendengarkan nyanyian putrinya. Lagu kecil yang entah bagaimana membuat dunia terasa damai.
Beberapa saat kemudian… rambut putrinya rapi dan mengkilap. Marry memeluk putri kecilnya dalam pangkuannya. Kemudian ia bertanya:
"Sayang, hari ini kita menanam bibit mawar merah. Caelan bantu Mama ya?"
"Caelan mau, mom!" seru Caelan sambil mengangkat tangan kecilnya dengan antusias.
Namun, di balik keceriaan putri kecilnya dan sentuhan lembutnya, Marry menyimpan kecemasan hari ini. Pagi ini, ia telah bermimpi buruk… sebuah mimpi yang membawanya kembali ke masa lalunya 10 tahun lalu.
...
Malam sebelumnya, seperti kebiasaannya, Marry menidurkan Caelan kecil. Ia mendongengkan cerita sebelum tidur. Caelan pun memejamkan matanya dan tertidur dengan damai.
Marry menyelimuti putri kecilnya dan dirinya dengan selimut putih. Ia berbaring dan memeluk putri kecilnya… lalu ketika kelopak matanya terpejam. Marry tidur dan bermimpi—
Marry berdiri di dalam lorong mansion megah. Ia menoleh ke kanan… di tangan kanannya sebilah pedang merah berlumpuran darah.
"Tess… tess…"
Tetesan darah menetes dari ujung bilah pedangnya.
Mata biru Marry melebar… kemudian dia menoleh ke tubuhnya. Ia mengenakan gaun merah darah… pakaian aristokrat yang biasa ia pakai 10 tahun lalu untuk mengeksekusi para tiran yang keji.
Tapi wajah Marry kembali tenang… ia berjalan menyusuri lorong gelap. Di setiap langkah kakinya… genangan cairan merah membasahi sepatunya.
Bau amis dan wangi tercium di udara yang lembab. Marry mengerutkan keningnya.
Marry terus berjalan… ia masuk di ruangan megah. Di dalam ruangan itu dokumen kertas menumpuk di atas meja marmer.
Marry mengambil salah satu kertas itu. Di kertas itu… tertulis transaksi perdagangan perbudakan anak-anak lengkap dengan tanggal pengiriman dan tangan tangan emas.
Mata biru Marry menjadi dingin ketika ia membaca setiap baris di kertas itu.
Bukti tak terbantahkan… kejahatan busuk yang disembunyikan bangsawan di balik kata-kata manis mereka.
Marry melangkah sudut ruangan… di sana, brankas besi terbuka memperlihatkan emas dan permata berkilauan…
Namun di samping brankas itu… seorang pria bangsawan yang berwajah tampan, lembut dan berambut pirang tergeletak tak bernyawa.
Matanya melotot… pakaian aristokratnya dinodai noda merah. Dan di atas jasadnya… bunga-bunga mawar darah bermekaran.
Mawar-mawar darah itu memenuhi jasad itu seperti pemakaman.
Dan di atas mawar-mawar darah… sebuah kertas cokelat tergeletak.
Marry mengambil kertas itu… kertas cokelat itu ditulis dengan tinta merah darah.
“Kertas dosa?!” gumam Marry.
Marry membaca setiap baris kertas dosa itu… dan di permukaan kertas itu terukir jelas kejahatan-kejahatan bangsawan berambut pirang itu…