Bertemu Bayangan Masa Lalu…
Mentari senja bersinar lembut di ufuk barat lembah. Kabut tipis mengantung di udara.
“Klop… klop…”
Suara derap langkah kuda menyusuri jalan berbatu yang melintasi jalan lembah. Clara dan para ksatria elit menyusuri jalanan berbatu di lembah yang jarang terdengar oleh penduduk ibukota.
Angin senja yang berembus lembut, menyapu kelopak mawar liar di sepanjang jalan. Clara duduk tegak di kudanya, namun hatinya... bergetar.
Lembah Mawar, nama itu jarang didengar oleh para bangsawan di ibu kota. Hanya sebuah desa terpencil jauh dari peradaban yang tak layak diperhatikan. Namun tidak bagi Clara, karena setiap langkah mendekati desa itu, rasanya seperti menuntunnya ke gerbang ingatan yang dilupakan selama tujuh tahun terakhir.
Di bawah bayang-bayang langit senja… desa kecil itu tampak seperti lukisan tua yang dipaksa hidup kembali, tenang, bersahaja dan tajam dengan aroma nostalgia.
Clara menatap desa itu dari kejauhan. Angin sore menyapa lembut, mengetarkan rambut ungunya. Angin itu membawa aroma mawar yang menenangkan. Dan di balik hamparan ladang mawar yang merah dan putih… desa itu tampak kecil, seperti kenangan lama yang enggan pudar.
Clara tersenyum tipis, lalu dia membuka bibirnya. “Tujuh tahun... setelah semua yang terjadi, mengapa aku masih gemetar?”
Clara dan para kesatria terus berkuda menuju desa. Mereka melewati gapura desa dan disambut perkebunan yang rindang. Bau tanah tercium di udara.
Clara turun dari kuda dan mengikat kudanya di bawah pohon oak. Dia melangkah perlahan diikuti para kesatria pendamping.
Di depannya, seorang kakek terlihat sedang menyiangi kebunnya. Ketika Clara mendekatinya, kakek itu menghentikan pekerjaannya. Dia tertegun sesaat memandang orang-orang asing itu.
Clara tersenyum lembut dan menyapa kakek itu. “Tuan… perkenalkan saya detektif Clara dari ibukota.” Clara menunjukan para kesatria. “Dan mereka adalah kesatria pendampingku. Kami tidak ingin menganggu pekerjaanmu. Namun bisakah kami meminta waktu Anda sebentar?” tanyanya sopan.
Kakek tersenyum, lalu dia itu berdiri perlahan.
“Tentu saja, Nona. Saya tidak keberatan. Apa yang bisa saya bantu?” Tanya Kakek itu ramah.
“Tuan saya sedang mencari dua buronan.” Clara mengeluarkan kertas buronan dari mantelnya dan menyerahkan kepada kakek itu.
“Apakah Anda pernah melihat dua pria itu? Mereka bernama Bragg dan Garel. Mereka adalah penjahat yang sudah lama dikejar kerajaan Rose.”
Kakek itu terdiam sejenak. Dia memegang jenggotnya sambil mengamati kertas buronan itu. Lalu dia mengeleng-gelengkan kepalanya.
“Maaf, Nona. Saya tidak pernah melihat orang-orang kasar ini.” Dia menyerahkan kertas buronan itu kembali. “Apakah nona detektif belum lama tinggal di desa ini?”
Clara mengangguk perlahan. “Benar, tuan. Saya baru tinggal di sini selama beberapa hari.”
Kakek itu tersenyum lembut. “Jadi begitu… Anda mungkin belum mengenal desa ini, Nona. Desa kami sangat aman. Sepanjang hidupku… aku belum pernah bertemu dengan penjahat di desa ini.”
Kakek itu menoleh ke arah para warga desa yang sedang berkebun. “Lihatlah, nona. Kami semua hidup jujur dan sederhana. Kami memang bukan orang-orang kaya. Namun kami menjalani kehidupan kami dengan penuh rasa syukur. Terlebih lagi… desa ini memiliki seorang wanita suci dan putri kecil yang membawa warna bagi desa kami.”
“Wanita suci dan putri kecil?!” Clara terkejut.
“Benar, Nona. Wanita suci itu bernama Marry dan putri kecilnya bernama Caelan.” Kakek itu terdiam sejenak. Dia mengingat bagaimana Marry memperlakukan penduduk desa dengan lembut.
“Ia adalah ibu muda yang baik hati. Semenjak ia dan putrinya tinggal di desa ini tujuh tahun lalu… Kehidupan kami semakin membaik.”
“Wanita itu selalu memperlakukan kami dengan hormat dan lembut. Ia juga sering suka menolong kami secara diam-diam.”
“Aku pernah melihat ia berjalan berkeling di perkebunan bersama putri kecilnya. Awalnya aku hanya mengira ia jalan-jalan dengan putrinya. Namun beberapa hari kemudian… saya terkejut ketika mengetahui kebun-kebun yang dilaluinya menjadi lebih subur dan terbebas dari hama. Panen kami menjadi melimpah. Kami tidak pernah gagal panen semenjak Ibu Marry tinggal di desa ini.”
Clara berkedip-kedip. Dia tahu Marry bukanlah saintess… ia hanyalah mantan algojo tiran yang ditakuti dunia sebelum ingatan dunia runtuh. Dia tidak menyangka Marry akan menggunakan kekuatannya untuk membantu penduduk desa.
Clara tertegun sejenak. Dia menatap kakek itu dengan wajah rumit. Lalu dia membuka bibirnya kembali.
“Tuan… apakah Anda pernah melihat Ibu Marry menggunakan kekuatan sihir tertentu?!” Tanyanya dengan suara lirih.
Kakek itu tertegun sejenak. Lalu dia membuka mulutnya.
“Kekuatan sihir?! Tidak, Nona. Tapi aku tahu… Ibu Marry adalah wanita yang ‘diberkati’. Wanita sebaik itu tidak mungkin penyihir. Lagipula aku belum pernah melihat penyihir yang mau kerja cuma-cuma. Anda tahu… kebanyakan penyihir itu sombong dan egois.”
Clara mendesah. “Begitu…” Clara mengeleng-gelengkan kepalanya perlahan. “Maaf, Tuan. Saya salah paham.”
Kakek itu menoleh Clara. Wajah tuanya tersenyum lembut.
“Tidak apa-apa, Nona. Anda belum mengenal Ibu Marry. Jika kau punya waktu luang, sebaiknya kau kunjungi Ibu Marry. Rumahnya berada di atas bukit dekat desa ini.” katanya sambil menunjuk arah utara.
“Ibu Marry suka menyambut tamu dengan ramah.” Kakek itu membelai jengkot putihnya. “Jika Nona beruntung, Nona mungkin akan disuguhkan cookies panas. Warga desa sangat menyukai cookies buatan tangan ibu muda.”
Clara mengangguk. “Terima kasih atas informasinya, Tuan. Saya akan mengunjungi Ibu Marry ketika senggang.”
“Sama-sama, Nona. Saya senang bisa membantumu.”
“Jika Anda ingin tahu lebih banyak tentang Ibu Marry, Anda sebaiknya bertanya kepada para warga desa lain. Semua warga desa mengenal Ibu Marry dengan baik,” kata kakek itu tulus.
“Kalau begitu, saya tidak akan menganggumu, Tuan. Saya mohon pamit,” katanya hormat.
“Hati-hati di jalan, Nona,” kata Kakek itu ramah.
Clara berjalan kembali menuju pohon oaks. Dia naik ke kudanya. Dia menoleh ke belakang dan melihat para kesatria sudah berbaris rapi di kuda-kudanya masing-masing.
Clara mengangguk perlahan. “Mari kita lanjutkan perjalanan.”
Mereka melanjutkan perjalanannya. Clara dan para kesatria memasuki perumahan desa. Dia menoleh ke sisi jalan dan melihat ibu-ibu muda duduk di teras rumah mereka. Seorang ibu terlihat menyuapi anak-anaknya. Ibu lainnya terlihat mengomel-ngomel ke bocah nakal.