Berkunjung untuk Kedua Kalinya…
Kabut tipis masih mengantung di udara. Mentari pagi bersinar di ufuk timur Lembah Mawar.
“Klop… klop…”
Suara derap kuda bergema lembut di jalan berbatu. Seorang detektif wanita duduk di pelana kuda. Mata hijaunya jernih menatap ke depan jalan.
Senyuman menghiasi wajahnya. Pagi ini, Detektif Clara bepergian sendirian. Di pinggangnya bergantung kotak bungkusan kecil berisi kue-kue cookies.
Clara ingin mengunjungi rumah Marry. Senyum lembut mengembang di bibirnya ketika dia membayangkan Marry dan putri kecilnya, Caelan. Dia tak tahu perasaan apa yang ada di hatinya, namun dia merasa hatinya hangat dan tentram.
Setelah malam pengakuan di bawah cahaya bulan dan bintang, ingatan Clara sudah pulih. Sekarang, dia mengenal Marry lebih dari siapapun.
Dunia lama menyebutnya algojo darah, namun bagi Clara, ia hanyalah ibu murka yang menuntut keadilan bagi korban yang terbungkam. Dan kini ia hanyalah ibu lembut yang ingin hidup damai bersama putri kecilnya.
Clara memegang dadanya. Dia tak tahu perasaan apa di hatinya. Mungkin kekaguman. Mungkin rasa hormat. Atau sesuatu yang lebih lembut.
Sejak Clara menggunakan [eyes of judgement] pada Marry sepuluh tahun lalu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia melihat jiwa yang begitu murni, putih dan cemerlang. Jiwa mulia yang tak pernah dia lihat pada jiwa siapapun. Bahkan setelah runtuhnya ingatan dunia tujuh tahun lalu, jiwa Marry sama seperti sebelumnya.
"Jiwa seputih itu... bagaimana mungkin Marry bisa bertahan di dunia ini?" Pikirnya.
Dia tahu, itu bukan karena kekuasaan, melainkan karena cinta: cinta yang murni, cinta yang melindungi, cinta yang menyembuhkan. Marry El Rose pernah melindungi dunia dengan darahnya, dan kini ia melindungi sesuatu yang sangat berharga, putri kecilnya yang jiwanya bersinar lebih terang, Caelan El Rose.
Clara mengencangkan tali kudanya. Dia memacu kudanya menaiki bukit perdesaan. Dia tidak sabar pergi ke sana, ke rumah kayu tempat di mana ibu dan putri itu tinggal di dunia yang telah melupakan dosa-dosanya.
Dia tiba di halaman rumah Marry. Dia turun dari kudanya dan mengikat kudanya di bawah pohon oaks. Dia melangkah perlahan sambil membawa kotak bungkusan di tangan kanannnya.
Ketika Clara berdiri di depan pintu kayu itu, dia ragu sejenak. Sebuah tangan terangkat, tetapi ia tidak langsung mengetuk. Dia menepuk pipinya.
"Puk! Aku... bukan detektif hari ini. Aku hanyalah Clara," gumamnya dalam batin.
Clara mengerakkan tangannya menuju pintu kayu itu.
“Tok… tok…”
Suara pintu bergema di udara pagi yang segar. Clara menahan nafas.
Namun tidak ada jawaban. Ketika dia hendak mengetuk pintu lagi. Tiba-tiba, suara riang terdengar dari dalam rumah.
"Kak Clara!" teriakan gadis kecil.
Clara menoleh ke samping pintu dan melihat seorang gadis kecil bermata biru langit mengintip dari jendela.
“Caelan!” katanya terkejut.
Caelan memekik riang dan berlari membuka pintu tanpa menunggu izin mamanya.
"Ayo main!” Caelan memeluk pinggang Clara.
Caelan mendongak. Matanya bulat bertemu dengan mata hijau.
”Aku punya rumah dari kardus!"
Clara tersenyum tulus. Senyum yang jarang dia tunjukkan kepada siapapun.
Dia membelai rambut perak gadis itu.
“Caelan mau main sama aku?!” Dia menoleh ke kiri dan ke kanan.
“Aku mau… tapi kenapa Caelan tidak main sama Mamamu?”
Caelan kecil mengelengkan kepalanya.
“Caelan senang main sama Mama, tapi Mama lagi sibuk kerja.” Caelan mengembungkan pipinya. “Caelan nggak punya teman main.”
Clara tersenyum lembut. “Kasihan! Caelan ngga punya teman main.” Clara mendesah. “Baiklah, Kakak mau main sama Caelan.”
“Hore!” Caelan meraih tangan Clara tanpa ampun. “Ayo main Kak! Caelan tidak sabar.”
Clara cekikan. Dia membiarkan tangannya ditarik dengan kekuatan seorang anak kecil yang tak bisa ditolaknya.
Caelan menarik Clara ke ruang tamu. Clara berhenti di depan meja tamu.
“Sebentar Caelan, Kak Clara punya oleh-oleh untukmu,” katanya lembut.
“Oleh-oleh?!” Caelan melirik kotak bingkisan yang dipegangnya.
Clara menyerahkan kotak bingkisan itu.
“Ini oleh-oleh untuk Caelan.”
“Untuk Caelan?” Caelan berbinar. Dia segera membuka kotak bingkisan itu dengan penuh semangat.