Tujuh hari kemudian…
Mentari bersinar turun di ufuk Barat Lembah Mawar. Sinarnya menyinari seorang detektif wanita berjalan di jalan perdesaan, Lembah Mawar.
Rambut ungu Clara berkilau terkena cahaya matahari. Dia berjalan santai, menyusuri perumahan warga.
Sepanjang perjalanan, Clara melihat para penduduk desa beraktivitas seperti hari damai biasanya. Para ibu muda mengendong anak kecilnya sambil menyuapi anaknya. Gadis-gadis muda menenun kain wol di teras rumah sambil bercengkrama satu sama lain. Anak-anak kecil berlarian di halaman rumah.
Clara tersenyum ramah ketika warga menyapa dia. Seorang kakek menyapa dia sambil menyampirkan cangkul di pundaknya.
“Selamat siang, Nona Clara,” sapa Kakek itu.
“Selamat siang, Tuna,” kata Clara ramah.
“Nona… mau berkunjung ke rumah Nyonya Marry lagi?” Kakek itu tersenyum lembut.
Clara mengangguk perlahan dan berkata, “Seperti yang Anda lihat, tuan.”
“Bagus. Nyonya Marry memang ibu yang lembut,” katanya sambil mengelus jengkotnya. “Tolong sampaikan salamku kepada beliau, Nona.”
“Tentu saja, Tuan,” kata Clara.
Kakek itu pun melanjutkan perjalanannya. Clara menatap punggung Kakek itu sejenak. Namun, dari ujung jalan desa, dia melihat seorang kesatria wanita berkuda menyusuri jalan desa.
Debu berterbangan ketika langkah kaki kuda itu menjejaki jalan. Kesatria itu memperlambat laju kudanya ketika mendekati Clara.
Dia memarkirkan kudanya di tepi jalan, lalu dia melangkah dan berhenti dia depan Clara. Dia memberikan hormat kepada Clara sebelum menyampaikan pesannya.
“Nona Clara… saya baru saja mendapatkan surat dari ibukota,” kata kesatria wanita itu sambil menyerahkan surat itu.
“Surat dari ibukota?!” Clara memegang surat bersegel mawar emas. “Hmm… terima kasih atas kerja kerasmu. Kamu bisa melanjutkan aktivitasmu.”
“Baik, Nona Clara. Panggil saya kapan saja jika Anda membutuhkan bantuan,” kata kesatria wanita itu sambil mengangguk.
Begitu kesatria itu meninggalkan Clara sendirian di tepi jalan. Clara berdiri diam sejenak di tepi jalan.
Dia memegang dagunya sambil menatap surat itu. Lalu, dia membuka segelnya perlahan dan mengeluarkan kertas berwarna emas.
Clara membaca surat itu dengan seksama. Dia mengeryit kepada membaca baris terakhir surat itu.
“Clara… bagaimana perkembangan penangkapan Bragg dan Barel? Aku harap kau bisa segera menangkap mereka. Dokumen-dokumen sudah menumpuk di atas mejaku,” kata Pangeran Elvin El Rose.
Clara memasukkan kertas itu kembali ke suratnya. Lalu, dia memasukkan surat itu ke saku mantelnya. Dia menatap utara desa. Di sana berdirilah sebuah rumah sederhana di atas bukit. Tempat Marry dan putrinya hidup damai.
“Pangeran Elvyn… maaf, aku belum menemukan dua buronan itu di sini—namun kau mungkin terkejut jika mengetahui apa yang aku temukan,” gumamnya dalam batin.
Clara mendesah sambil mengusap rambut kucir kudanya.
“Tidak! Aku kira bukan ide yang baik mempertemukan Elvyn dan Marry saat ini,” pikirnya.
…
Clara berdiri membisu sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya ke utara desa. Dia terus berjalan meninggalkan perumahan desa. Lalu, dia menaiki jalan setapak yang menanjak.
Aroma bunga mawar dan tanah tercium di udara yang mulai panas. Clara melintasi ladang bunga mawar liar. Dia berhenti di depan rumah kayu sederhana di seberang ladang mawar itu.
Sebuah kupu-kupu biru terbang rendah melewatinya lalu diikuti suara kecil yang manis.
“Kupu-kupu… jangan lari! Caelan mau main,” kata Caelan kecil.
Clara tersenyum lembut melihat gadis kecil berambut perak berlari menuju dirinya. Mata biru Caelan berbinar ketika dia melihat Clara.
“Kak Clara…” kata Caelan polos.
Caelan berlari kecil dan berhenti di depannya. Clara mengusap rambut Caelan. Setiap helaian rambutnya terasa halus seperti sutra.
“Halo, Caelan. Kamu sedang main apa hari ini?” tanya Clara ramah.
“Caelan main kejar-kejaran sama kupu-kupu, Kak. Tapi—“ Pipi Caelan mengembung. “Kupu-kupunya ngga mau main sama Caelan.”
Clara menutup mulutnya. Dia terkekeh pelan.
“Caelan jangan sedih. Mungkin kupu-kupunya lagi malu,” kata Clara menghibur gadis manis itu. “Mau kakak bantu?”
“Ngga, Kak.” Caelan kecil mengelengkan kepala mungilnya. “Caelan bisa menangkap kupu-kupu sendiri.”
“Kalau begitu, Caelan bisa panggil Kakak kapan saja. Kakak mau menemui Mamamu,” kata Clara lembut.
Seekor kupu-kupu merah terbang melewati Caelan. Kepala mungilnya mengikuti arah terbang kupu-kupu itu. Caelan mendongak ke Clara sambil menunjuk kupu-kupu itu.
“Kak, Caelan mau main kejar-kejaran sama kupu-kupu.” kata Caelan polos.
Caelan berlari mengejar kupu-kupu. Clara berdiri menatap punggung gadis kecil riang itu.
Caelan melompat menangkap kupu-kupu merah. Namun kupu-kupu itu terbang di atas kepalanya.
“Kupu-kupu… ayo main sama Caelan,” rengek Caelan.
Clara tersenyum, menatap betapa manisnya gadis kecil itu.