Aku Tak Bisa Lagi Netral…
POV: Detektif Clara
Malam ini terlalu sunyi. Tak ada suara jangkrik, hanya suara angin lembah yang membelai lembut dedaunan.
Di dalam sebuah kamar penginapan kecil di Lembah Mawar, aku duduk memeluk lututku di tempat tidur. Sebuah lampu minyak menyala redup di sisi meja. Buku catatanku terbuka, tetapi penaku belum tersentuh.
Aku bangun dari tempat tidur, melangkah ringan, dan duduk di kursi kayuku. Tanganku berusaha memegang pena. Namun, tanganku tidak berhenti gemetar. Bukan karena takut. Tapi karena aku bingung, ragu... dan tersentuh.
Aku menatap bayanganku di cermin yang menempel di dinding. Tatapan itu—tajam, terlatih, seperti biasa. Namun di balik semua itu, ada kebingungan yang mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam di dalam diriku.
"Aku detektif," bisikku lembut. "Aku penegak hukum. Aku netral. Aku tak memihak."
Itulah prinsipku. Itulah yang membuatku dipercaya oleh rakyat dan para bangsawan. Hukum di atas segalanya.
Tapi sekarang? Sekarang, aku tertangkap basah oleh hatiku sendiri.
Aku mulai memihak. Bukan karena Marry El Rose itu cantik. Bukan karena putrinya, Caelan El Rose itu manis dan memeluknya membuat merasa nyaman seperti aku memeluk adik perempuan. Tapi karena...
Karena di balik semua tragedi berdarah 10 tahun lalu… sebelum dunia memilih lupa. Aku merasa Marry lebih pantas menyandang gelar 'penjaga hukum' daripada siapa pun di kerajaan.
Dan putri kecil, Caelan, dengan tangan mungilnya dan tawanya yang polos dan riang telah menyalakan sesuatu dalam diriku. Perasaan yang telah telah lama menghilang — keinginanku untuk melindungi seseorang yang berharga.
Sebelumnya, aku selalu percaya dan ingin melindungi hukum, sistem, dan institusi kerajaan. Namun sekarang… aku ingin melindungi seseorang. Aku ingin melindungi tawa kecilnya. Aku ingin melindungi kehangatan yang tersisa di antara ibu dan putri kecil di tengah dunia yang amnesia.
Bukan karena hukum. Tapi karena cinta, rasa hormat, keyakinan bahwa dunia terlalu gelap untuk membiarkan satu-satunya cahaya yang tersisa padam lagi.
...
Aku menatap langit-langit kamarnya. Masa kecilku terbayang kembali.
Aku dibesarkan keluarga yang tidak kaya namun tidak miskin. Keluarga kami bisa dikatakan berkecukupan. Ayahku adalah seorang pedagang cukup sukses di kota pinggiran kerajaan. Sementara itu, ibuku adalah ibu rumah tangga seperti wanita kota umumnya.
Ketika aku masih kecil, aku polos dan tidak tahu apapun. Keluarga dan orang-orang di sekitarku memperlakukan aku dengan baik.
Setiap malam minggu, ayah dan ibu mengajakku makan malam di restoran ditemani seorang bangsawan berjas hitam bersama putranya. Kami makan malam bersama.
Aku cukup akrab dengan putra bangsawan itu. Aku kira keluargaku, teman masa kecilku, dan orang-orang di sekitarku memang baik hati. Namun, aku terlalu naif. Dunia tidak seperti yang aku lihat.
Suatu hari di malam purnama, aku terbangun dari tidurku. Aku bernafas terenggah-senggah. Aku berusaha membuka kelopak mataku. Namun, rasa nyeri menusuk mataku.
Aku berusaha mengerakkan kelopak mataku. Namun, rasanya nyerinya membuat merasa seperti mataku terbakar. Aku menangis dan berteriak meminta tolong.
“Ayah… ibu… tolong aku—hiks… hikss…”
Ayah dan ibuku masuk ke kamarku. Mereka panik ketika mereka melihat mataku berdarah.
“Clara—“ Ibuku berdiri gemetar.
“Aku akan panggil dokter! Bertahanlah, Clara.” Ayahku berlari, keluar kamar dan segera memanggil dokter.
Beberapa saat kemudian… dokter datang memeriksa kesehatanku.
Dia memeriksa suhu badanku, nafasku, dan denyut nadiku. Namun, dia tidak menemukan sesuatu yang salah.
Dokter itu menghela nafas. Lalu, dia mengeluarkan bola kristal putih seukuran telur ayam.
“Sentulah bola kristal ini, nak.” kata dokter itu lembut.
Aku mengangguk dan menyentuh bola kristal itu. Lalu—
“Swiisshh!”
“Apa ini?” teriak ayahku.
Ayah, ibu dan dokter refleks menutup mata mereka dengan lengannya.
Bola kristal itu bersinar terang. Sinarnya begitu menyilaukan. Namun—
“Crack”
Kristal itu retak. Retakannya melebar seiring kilauan cahaya.
Dokter itu menarik telapak tanganku. Begitu tanganku dilepaskan dari kristal, sinarnya memudar.
Ayah dan ibu mematung di tempat. Namun, ayahku segera memecahkan keheningan.
“Apa yang terjadi pada putriku, dokter?”
Dokter itu terbelalak dan mengerakkan kepalanya perlahan menatap ayahku.
“Ini kabar baik sekaligus kabar buruk,” kata dokter itu.
“Apa yang kau katakan, dokter?! Bisakah kau jelaskan kepada kami?” tanya ibuku.
Dokter menghela nafas berat.
“Kabar baiknya, putrimu diberkati dengan kebangkitan.” Dokter menatap mataku yang berdarah. “Dia telah membangkitkan kemampuan unik yang jarang dimiliki siapapun.”
Ayah dan ibu saling berpandangan. Mereka menelan ludah tanpa sadar. Lalu, ayah membuka mulutnya.