Jejak Kenangan yang Ditinggalkan…
Beberapa hari kemudian setelah kepergian Clara ke ibukota… mawar putih liar bermekaran di depan rumah kayu. Kelopak mawarnya putih bergoyang diterpa angin pagi.
Angin itu bertiup membawa aroma mawar dan mengoyangkan tirai jendela. Di bawah tirai, seorang gadis kecil mengosok matanya di atas tempat tidur.
Caelan bangun tidur seperti biasanya. Rambutnya masih kusut, dan mata mungilnya masih setengah terpejam karena mengantuk. Namun dia segera menoleh ke jendela kamarnya.
Marry duduk di tepi kamar tidur putrinya. Dia menyisir rambut perak putrinya. Namun, suara manis memanggilnya.
"Bu... Clara belum datang, ya?"
Tangan Marry menghentikan menyisir rambut Caelan. Pertanyaan polos itu sederhana. Namun, pertanyaan itu cukup membuat dadanya sedikit sesak.
Ia mengelus kepala putrinya dengan lembut.
"Clara harus kembali ke ibukota. Banyak pekerjaan yang harus dia diselesaikannya," katanya lembut.
Caelan menundukkan kepala. Pipi tembemnya cemberut.
"Lalu... kapan Clara akan menjadi bagian dari keluarga kita, Mom?"
Marry menahan napas. Dia memelauk putrinya dari belakang, sebelum akhirnya terkekeh pelan.
"Caelan mau punya kakak perempuan?"
Caelan mengangguk riang. Dia berbalik menoleh wajah mamanya. Mata birunya berbinar.
"Ya, tapi Caelan hanya Kak Clara.”
Marry mengusap wajah putrinya.
“Kenapa Caelan ingin Kak Clara menjadi Kakak Caelan?”
Caelan mengangkat tangan mungilnya di udara.
“Karena hanya Kak Clara yang bisa menjadi detektif menangkap penjahat dan masih bisa bermain cilukba sama Caelan, Mom."
Marry tersenyum lembut. Dia memegang dadanya. Ada kehangatan yang tersisa di antara pertemuan mereka.
Marry masih mengingat pertemuan dia dengan Clara. Gadis detektif itu selalu bersikap lembut terhadap anak-anak khususnya gadis kecil. Dia ingat bagaimana gadis itu melindungi anak-anak di tengah pengepungan berdarah 10 tahun lalu.
“Clara… putriku merindukanmu, apa yan harus aku lakukan?” pikir Marry.
Marry mencubit pipi putrinya dengan lembut. Pipi putri kecilnya terasa seperti mochi.
“Kalau begitu… Caelan bisa menulis surat buat Kak Clara. Mama akan ajari Caelan.”
Caelan mengangguk antusias.
“Mama memang terbaik.” Caelan memeluk Marry erat-erat. “Caelan sayang banget sama Mommy.”
Kehangatan menyebar di dada Marry. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti menyaksikan kehangatan ibu dan putrinya.
Lalu, Marry menepuk punggung putri kecilnya perlahan dan berkata, “Caelan putri mama.”
...
Hari-hari berikutnya berjalan rutinitas normal. Marry merawat putri kecilnya, membangunkannya, membersihkannya, menyuapinya, mengajaknya jalan-jalan ke desa. Lalu, ada satu aktivitas tambahan, mengajari Caelan menulis surat.
Marry mengajari putrinya dengan sabar dan lembut. Tulisan Caelan masih berbentuk coretan kasar. Namun, perlahan tulisannya mulai membaik.
Marry tidak lupa memuji perkembangan putri kecilnya. Bahkan dia memberikan sup labu putih kesukaan putrinya sebagai hadiah karena Caelan berhasil menyelesaikan kursus penulisan surat.
Sore ini, Marry kembali membuat ramuan herbal, pesanan dari para tetua desa. Dia menjemur mawar kering di halaman rumahnya. Caelan ikut membantunya menata kelopak mawar di papan jemuran.
Marry meletakkan papan itu di atas tiang jemuran pakaian. Dia menyeka keringat di dahinya.
“Selesai.”Marry menoleh ke putri kecilnya. “Sekarang… Caelan mau main apa?”
“Caelan mau mengambar di bawah pohon bersama Mommy,” kata Caelan sambil menunjuk pohon oak di belakang halaman rumah.
Marry tersenyum dan berkata, “Mama akan temani Caelan mengambar.”
“Hore… Caelan mengambar bersama Mama,” kata Caelan polos.
Marry mengenggam tangan Caelan melangkah kembali ke rumah. Beberapa saat kemudian, ibu dan putrinya itu kembali dengan membawa tikar, meja kecil, dan peralatan mengambar.
Marry mengelar tikar di bawah pohon. Dia menaruh meja kecil di atasnya. Lalu, dia memberikan kertas gambar, pensil, penghapus dan kerayon kepada Caelan.
“Caelan bisa mengambar dengan peralatan gambar ini. Mama akan memenahi Caelan di sini,” katanya lembut.
“Caelan mau menggambar Mama, Caelan dan Clara bergandengan tangan, Mom.”
Marry terkekeh pelan. Dia menepuk kepala putrinya.
“Bagus. Mama mau lihat hasil. Kita bisa memasang gambar Caelan di kamar nanti,” kata Marry lembut.
“Asyik.” Caelan duduk di atas tikar, tangannya mulai mencoret di atas kertas gambar.
Mata bulatnya menatap fokus ke kertas gambar. Dia mengambil kerayon dan mulai mewarnai gambarnya.
Selagi Caelan mengambar, Marry duduk manis bersandar di pohon rindang. Dia menatap langit yang mulai jingga.
“Beberapa hari yang lalu… Clara, Caelan dan aku duduk piknik di sini. Waktu terasa cepat berlalu,” pikir Marry.