Langit Mendung Malam di Ibukota…
POV: Elvyn El Rose
Aku sedang berdiri di tepi balkon istana emas ketika angin malam menyapaku. Anginnya lembut mengoyangkan rambut pirangku.
Aku menatap langit malam sejenak. Langit kelabu seakan menyatu dengan hatiku yang gelisah.
…
Aku berdiri diam sejenak sebelum berbalik dan kembali ke kamarku.
Aku duduk sendirian di kamarku. Dokumen-dokumen bersegel mawar telah menumpuk di atas meja kerjaku.
Aku berusaha mengerakkan tanganku, memegang pena emas. Tetapi ketika aku memegangnya, genggamanku terlepas.
Pena itu jatuh di lantai, memantul dan berputar di udara sebelum berhenti di lantai marmer.
Aku mengambil pena itu. Lalu, aku mengambil sebuah dokumen bersegel mawar. Tanganku membuka segel mawarnya dengan hati-hati.
Mata biruku membaca setiap baris dokumen cokelat dengan seksama. Di akhir baris, terdapat kolom yang seakan memintaku memberikan tanda tangan.
Aku berusaha mengores kolom itu dengan penaku. Namun, peganganku kembali mengendur. Pena itu jatuh di atas meja sebelum menyelesaikan tugasnya.
Nafasku terasa berat. Aku tidak bisa fokus.
Bukan karena pekerjaan kerajaan yang menumpuk membuat stres, melainkan hatiku merasa kosong.
Aku menyentuh dadaku dan bisa merasakan di sana ada lubang yang tak bisa aku jelaskan. Setelah runtuhnya ingatan dunia 7 tahun lalu, aku menyadari ada bagian jiwaku yang menghilang dikubur sejarah.
Aku memejamkan mataku dan bisa merasakan kehadiran yang begitu hangat. Sosok yang sangat berharga yang telah membentuk diriku. Seseorang yang membuat merasa hidup.
Bukan sebagai Pangeran,
Bukan sebagai penasihat kerajaan,
Bukan sebagai jenderal militer,
Namun sebagai Elvyn El Rose.
Setiap kali aku mencoba mengingat sosok itu. Wajahnya selalu tertutup kelopak mawar yang layu.
Semakin aku berusaha mengingatnya, semakin kepalaku sakit. Aku tahu… dunia telah memaksaku melupakan sosok itu.
Aku menatap langit ruangan yang redup. Bibirku terkatup.
“Siapa kamu?”
Sosok itu tidak pernah menjawabku walaupun hanya dalam mimpi. Ruangan ini sepi seperti perasaanku yang jauh dari sosok itu.
…
Pikiranku kacau. Aku tidak bisa membiarkan pikiran ini terus membebaniku. Aku menoleh ke mejaku kembali, mengalihkan fokus.
Di sana, sebuah dokumen digulung bergeletak di samping tumpukan dokumen bersegel mawar. Itu adalah laporan Clara tentang dua buronan yang telah dia selidiki selama hampir dua minggu di Lembah Mawar.
Aku mengambil dokumen itu dan membukanya kembali.
Clara baru saja kembali. Laporan itu telah ditulis dengan rapi dan dingin.
"Tidak ada tanda-tanda keberadaan para buronan itu. Jejak mereka hilang di tengah hutan.”
“Diduga kuat mereka tewas dimakan binatang buas di hutan. Tidak ada jejak yang tersisa.”
“Atau diduga kuat mereka tewas akibat konflik internal antar penjahat. Tidak ada bukti keterlibatan penduduk lembah.”
“Daerah ini aman. Sangat aman. Lebih aman daripada ibu kota. Dan saya sarankan Anda untuk tidak mengirim siapa pun ke sini.”
“Buronan tidak ditemukan. Pencarian dinyatakan selesai.”
“Diduga mereka sudah tewas sebelum tim investigasi tiba. Tidak ada jasad atau bukti keberadaan mereka saat ini yang ditemukan."
…
Tanganku mengenggam erat dokumen itu. Aku tahu… Clara tidak menuliskan seluruh kebenarannya.
Namun, sebagai detektif nurani, Clara dikenal selalu jujur dan bersih. Bahkan jika dia berbohong, kebohongannya bersih, bukan kebohongan bangsawan yang picik.
Aku tidak ingin meragukannya. Dia sudah banyak berjasa terhadap stabilitas kerajaan.
Lagipula, dia… hanyalah salah satu dari sedikit orang yang bisa aku ajak berbagi tentang keresahan hatiku, tanpa khawatir dengan topeng aristokrat.
Aku menaruh kembali laporan itu di atas meja. Aku tidak akan bertanya kepadanya setidaknya untuk saat ini.