Arkais adalah orang yang suka keterasingan.
Arkais beranggapan begitulah pandangan semua orang terhadap dirinya. Bukan tanpa alasan, memang kenyataannya tidak banyak yang mampu menangkap hawa keberadaannya. Bahkan petugas perpustakaan yang setiap hari berdiri di meja jaga. Beliau masih tidak mengenali wajah dan perawakannya tiap kali ia berkunjung ke tempat favoritnya di lantai tiga perpustakaan, yaitu di meja paling sudut dekat jendela besar yang menghadap ke parkiran. Tempat yang cukup sepi, tidak banyak mahasiswa yang naik ke sana kecuali mereka yang suka menyendiri dan tidak takut pada keheningan.
Sedangkan di kelas, ia terkenal sebagai lelaki pendiam. Suaranya masuk dalam kategori bunyi asing karena ia sangat jarang berbicara, ia lebih banyak mencatat dan memerhatikan. Berada di fakultas keguruan jurusan bahasa Indonesia membuatnya seringkali tidak nyaman ketika harus tampil di depan khalayak. Ia bukanlah tipe manusia yang pandai dalam mengekspresikan perasaan, tidak lihai dalam menyampaikan ide-ide cemerlang secara lisan, apalagi dalam berpenampilan menarik. Ia terlalu kompleks untuk hal-hal yang sederhana dipikiran kebanyakan orang.
Saking tidak terdekteksinya keberadaan Arkais, seringkali ia terabaikan ketika semua orang sibuk membentuk kelompok. Ia dengan berat hati bersusah payah mendatangi satu persatu dari teman-temannya untuk mendapatkan kursi anggota dalam kelompok. Walaupun begitu, ketika mereka menyadari keberadaanya, mereka akan dengan senang hati menerima Arkais sebagai anggota kelompok. Meski terkesan dingin, ia adalah sosok yang mampu diandalkan. Kepribadiannya yang misterius mampu menarik perhatian beberapa gadis di kelasnya yang menganggap bahwa lelaki misterius itu menarik.
Hari ini jadwal kuliah berhenti di pukul dua siang. Seperti biasa, Arkais akan mengunjungi tempat sakralnya di perpustakaan. Ia menghela napas panjang ketika keluar dari gedung. Dadanya terasa plong, mata kuliah sintaksis dan semantik selalu berhasil membuatnya sesak napas. Ia menengadah, menatap Matahari siang yang menyilaukan, agaknya bulan Juni sedang melakukan parade musim panas sepanjang tahun.
Arkais mengenakan topi lalu berjalan di antara bayang-bayang pepohonan, menerabas daun-daun kering yang berserakan. Seperti biasa, ia selalu melakukan ritualnya setiapkali melewati jempatan penghubung, yaitu berhenti di tengah jembatan untuk memandangi rawa-rawa. Mencari seekor biawak atau burung ayam-ayaman yang kadang kala menampakkan diri. Setelah sekian lama menunggu, tak ada satu pun binatang yang muncul. Ia meneruskan langkahnya menuju perpustakaan.
Sesampainya di perpustakaan ia langsung melesakkan tas ke loker penyimpanan barang yang tidak selalu aman dari para pencuri. Tangannya cekatan mengambil sebuah buku dengan kertas berwarna hitam, dua buah pulpen bertinta putih, dan sebuah buku dengan kertas pembatas warna-warni yang terselip di banyak halamannya.
Petugas perpustakaan tersenyum menyambut kedatangannya, ia mengangguk pelan dan melangkah masuk melewati wajah-wajah asing, rak-rak buku, kemudian menapaki satu demi satu anak tangga menunju lantai tiga. Tempat favoritnya masih lenggang, ia tersenyum puas. Baginya, tempat itu adalah sebuah teritori pribadi yang tiada satu orang pun boleh mengganggu.
Dengan penuh penghayatan ia menarik kursi, lalu duduk dan memandangi orang-orang yang sibuk lalu-lalang di parkiran. Ia memasang earphone, memilih daftar putar lagu kesukaannya. Perlahan ia tenggelam dalam segala alur kisah dalam buku yang dibawanya.
“Hei!” Sebuah tangan menepuk pundaknya. Arkais terlonjak kaget, buku di tangannya terlepas. Ia menghela napas saat sadar siapa orang yang telah mengganggu kekhusukannya.
“Bezebah kau Gi! Kukira penunggu kursi kosong di seberang sana.” Ia mengambil buku yang jatuh di lantai sambil mendengus kesal.
“Jiahahahahahaha, ya maaf Ark. Kau juga sok terkejut, memangnya ada orang lain yang berani mengejutkanmu selain aku?”
Arkais diam tak menanggapi. Lelaki yang muncul secara tiba-tiba itu namanya adalah Adagio, lengkapnya Langit Adagio. Ia adalah sahabat Arkais sejak mereka secara tidak sengaja lahir bersamaan di rumah bidan desa. Mereka lahir di hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam yang sama. Menurut cerita bidan desa, mereka sampai kewalahan menangani kelahiran yang serempak itu. Meski lahir di waktu yang sama, bukan berarti mereka memiliki kesamaan. Mereka ibarat dua sisi yang berbeda, hitam dan putih, terang dan gelap, terkenal dan tidak dikenal.
Adagio selalu memiliki sifat yang berseberangan dengan Arkais. Arkais adalah pemalu, penyendiri, sedangkan Adagio adalah orang yang show off, humble, dan selalu berhasil mencuri perhatian orang-orang di sekitarnya. Meski demikian, mereka adalah sahabat rasa saudara. Bagi Arkais, Adagio adalah satu-satunya sahabat. Bagi Adagio, Arkais adalah sahabat nomor satunya.
“Aku sudah buat beberapa puisi yang kau minta, bagaimana dengan puisiku sebelumnya? Berhasil kau nyanyikan?” Arkais meletakkan earphone ke atas meja tanda diskusi berat akan segera dimulai.