Bersembunyi dan tidak peduli adalah zona aman.
Bunyi bel menghentikan kegiatan membacanya tepat di kalimat itu. Arkais menggigit jempolnya, entah kenapa hari ini perasaan hatinya begitu kacau. Ia melewatkan mata kuliah hanya dengan membaca buku yang tidak berkaitan sama sekali dengan mata kuliah yang sedang berlangsung. Hingga kelas usai dan ia bergegas menuju ke tempat sakralnya di lantai tiga perpustakaan.
Setelah menyebrangi jembatan penghubung dan menemukan seekor burung ayam-ayaman keluar dari persembunyiannya. Langkah kaki Arkais berhenti di muka pintu perpustakaan, di tangga ke tujuh. Entah ruh mana yang berbisik membujuknya untuk pergi ke danau kampus. Selama ini ia hanya melihatnya ketika melintas, tidak pernah benar-benar duduk di taman pinggir danau.
Ia melihat jam di tangannya, sejam lagi perpustakaan tutup. Tanggung rasanya jika harus naik ke atas. Ia memalingkan tubuh, melangkah menuju danau kampus yang hanya berjarak 300 meter dari perpustakaan. Ini pertama kalinya ia melalui jalan perpustakaan-danau dengan berjalan kaki. Ada perasaan aneh ketika ia menyebrangi simpang gedung mahasiswa FISIP dan Pertanian yang ternyata sangat ramai. Ia seperti baru saja sampai di sebuah kota asing.
Ia menyapu pandang ketika sampai di pinggir danau, matanya jeli mencari tempat paling aman dan nyaman. Matanya dengan tajam dan akurat melakukan pemindaian situasi, kondisi, toleransi, pandangan, dan jangkauan pada lokasi sekitar danau. Hasil pemindaiannya menangkap sebatang pohon yang cukup rindang, sepertinya tempat itu cukup layak untuknya. Ia bergegas menuju ke naungan pohon itu, duduk di bawahnya dan mulai mengeluarkan buku yang masih terbungkus plastik. Sebuah novel keluaran terbaru dari salah satu penulis favoritnya.
Arkais mengeluarkan perkakasnya, ia mulai memasang earphone lalu memutar lagu instrumental dalam daftar lagu kesukaannya. Diselingi gesekan senar biola, ia memandang danau kampus yang tenang di bawah matahari sore. Sejenak ia memejamkan mata dan menghela napas panjang, lalu menceburkan diri ke dalam buku.
Ia begitu khusyuk menyerap kata demi kata, menikmati peristiwa demi peristiwa yang ditulis dalam novel itu. Berganti peran dari satu tokoh ke tokoh lain. Ia begitu menyukai saat-saat ketika ia tersedot ke dalam dimensi imajinasinya sendiri. Bertemu dengan para tokoh buatan para penulis, menjalani petualangan penuh tantangan hingga akhir cerita yang seringkali penuh kejutan.
Dalam ketenggelamannya, ia benar-benar terlepas dari rotasi bumi dan tidak lagi menyadari orang-orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Bahkan waktu berjalan lebih cepat di luar dunianya. Lagu dalam daftar putarnya berhenti, tetapi ia belum sampai di akhir cerita. Dengan berat hati ia menarik diri untuk kembali ke dunia nyata. Ia menatap warna air danau yang kini berwarna lebih keemasan dari sebelumnya. Matahari telah tenggelam hampir sempurna, ia mengemasi barang-barangnya lalu bersiap untuk beranjak pulang.
Ketika berdiri, tidak sengaja matanya menangkap sesosok gadis di seberang danau, duduk diam seperti sedang menuliskan sesuatu di buku yang tersandar di paha kanannya. Ia terlihat begitu menikmati aktivitas itu. Arkais tersenyum nakal, sebuah ide jahil melintas di kepalanya. Ia mengambil sebuah batu dan melemparkannya ke seberang danau. Batu itu mendarat dengan sempurna hingga mengagetkan si gadis. Sebenarnya perbuatan iseng itu ia lakukan untuk mengingatkan sang gadis bahwa hari telah sore. Gadis itu terlihat kelagapan dan bergegas pergi. Mungkin ia termakan rumor cerita horor di danau ini. Arkais masih senyum-senyum sendiri di jalan pulang ke indekosnya sambil berusaha mengingat wajah samar-samar gadis itu.