Rasa penasaran itu bisa menjadi awal mula sebuah tindakan bodoh.
Sub-bab buku itu menarik perhatian Arkais sejak semalam. Earphone dengan volume mendekati maksimal membuat ia tidak terdistraksi oleh lingkungan sekitarnya. Sesekali ia melirik jam di tangannya. Sekedar mengingatkan diri untuk tidak melewatkan jam sore perpustakaan. Ia pernah hampir terkurung karena petugas perpustakaan hanya mengumumkan waktu istirahat dan tutup melalui bel dan pengeras suara.
Di luar, hujan sangat deras bahkan disertai angin badai. Entah angin muson mana yang sedang berkunjung. Parkiran sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang dibiarkan kehujanan. Ia menatap hujan yang jatuh melesat ke tanah. Begitu indahnya sebuah kepasrahan, begitu menakjubkannya cara alam bekerja, dan begitu lemahnya manusia. Hanya melawan hujan pun mereka tidak sanggup.
Ketika hendak kembali ke halaman buku, pandangan matanya menangkap sesosok manusia yang duduk sendirian di sudut ruangan yang bersebrangan dengannya. Ia mengamati sosok itu, meyakinkan diri bahwa itu adalah manusia. Bukan sosok perempuan penunggu perpustakaan yang menjadi urban legend di kampus ini.
Gadis itu mematung lama, ekpresinya seperti sedang memandangi layar komputer jinjingnya. Wajahnya samar. Setelah mengamati cukup lama, ia menyimpulkan bahwa itu adalah gadis aneh yang sering berjoget atau bertingkah tidak jelas. Gadis itu adalah salah satu teman tidak dikenal di lantai tiga yang sering menemaninya secara tidak langsung. Namun hari ini gadis itu terlihat lebih aneh. Ia tidak seperti biasanya, hanya duduk diam lalu tiba-tiba menjatuhkan wajahnya ke meja. Arkais yang selalu berusaha untuk tidak mencampuri urusan orang lain memilih untuk tidak peduli. Ia membangun persepsi bahwa gadis itu mungkin sedang menangis dan tidak ada orang yang suka diganggu ketika menangis.
Arkais melanjutkan aktivitas membacanya.
***
Perpustakaan adalah ruang dimensi tempat semua inspirasi muncul di tengah sunyi. Bagi Aura, ruangan perpustakan adalah Gua Hira, tempat segala wahyu turun ke bumi. Lantai tiga perpustakaan adalah tempat paling tepat baginya untuk melebur bersama keasikannya sendiri.
Aura baru saja menghabiskan sebuah novel sejarah yang hampir mencapai seribu halaman. Ia sebenarnya ada janji hari ini, tetapi karena hujan deras disertai badai. Ia terjebak di perpustakaan ini. Sebelum naik ke lantai tiga, ia menyusuri lorong rak-rak buku yang tersusun rapi. Mengamati setiap judul di tulang buku, beberapa yang menarik ia ambil, ia buka halamannya secara acak, lalu ia cari beberapa bagian kalimat yang bisa ia jadikan bahan dalam tulisannya. Ia selalu bersuka ria jika suasana perpustakaan sedang sepi. Sepei membuatnya leluasa berjalan ke sana kemari atau menari-nari tanpa suara.
Sekali waktu sebuah pikiran melintas di kepalanya, mengapa banyak orang yang benci dengan perpustakaan. Mereka bilang perpustakaan hanya untuk orang-orang pintar, bukankah itu pernyataan yang sangat lucu. Mereka secara terang-terangan mengakui kebodohoan mereka dan membanggakannya. Aura terkadang terkesima dengan gaya berpikir orang-orang di sekitarnya.
Setelah hampir setengah jam berkeliling, melihat sekian banyak buku yang berbaris rapi. Matanya menangkap sebuah judul buku yang menarik, ia mengamati lekat-lekat buku itu. Dibolak-baliknya halaman depan dan halaman belakang buku itu, hanya ada judul dan gambar yang absurd. Di halaman belakangnya tidak ada sinopsis atau apapun. sebaris kata-kata di halaman pertama membuat Aura tertarik untuk membuka buku itu.
‘Dari waktu ketika kau membaca tulisan ini. Kau telah terjebak dalam persepsi. Kau akan berkata dalam hati aku menggurui. Padahal aku hanya buku, jika memang demikian jadilah muridku.’
-Anonim, manusia yang ditulis oleh buku ini.
Kening Aura berkerut, tidak ada nama penulis. Tidak ada nama penerbit, hanya ada judul dan gambar yang sulit dimengerti. Bagaimana mungkin buku ini bisa terselip di barisan buku undang-undang. Aura membawa buku itu ke meja, lalu meletakkannya di sebelah laptop. Ia mulai mencoba fokus kembali dengan segala dunia di dalam laptopnya.
Ia mengecek pesan masuk di surat elektroniknya. Pesan yang ditunggu-tunggunya telah datang. Dengan jantung berdegup ia membuka pesan itu. Ah, tiba-tiba dadanya terasa sesak. Aura menatap langit-langit perpustakaan yang tinggi. Lampu yang terselundup di tubuh plafon, barisan kotak-kotak pendingin ruangan. Meja dan kursi yang kosong, tiba-tiba ruangan luas ini langsung mengecil. Menghimpit tubuhnya, menghabiskan sisa oksigen di udara. Ia melipat tangan di meja, menyimpan wajahnya yang kini muram.