Bintang bersinar berkat kelamnya malam.
Kata-kata itu adalah usaha Adagio untuk selalu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia tidak akan bisa sampai di titik ini tanpa proses yang panjang dan orang-orang yang mendukungnya.
Ruangan telah sepi dari gegap gempita, hanya tertinggal beberapa panitia acara yang membereskan perlengkapan konser. Di tengah mereka, sang pemeran utama: Adagio. Masih duduk di barisan ketiga pada kursi penonton.
Tangannya terlipat di depan dada, matanya menatap panggung yang kini lenggang dan kosong. Hanya terlihat beberapa petugas kebersihan yang sedang menyapu dan membereskan barang-barang di panggung. Semua histeria itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Orang-orang yang menatapnya dengan tatapan beraneka warna, penuh haru, dan membara.
Adagio menatap langit-langit, satu persatu lampu sorot dan lampu penaungnya dimatikan oleh petugas tata lampu ruangan. Poster-poster bergambar dan bertuliskan namanya yang tertempel di sudut-sudut ruangan mulai dilepas.
Meski acara telah lama selesai, masih ada saja penggemar yang menghampirinya untuk sekedar minta tanda tangan atau berswafoto. Adagio memang terkenal ramah dengan semua orang, terkenal sebagai penyanyi tampan yang tidak banyak tingkah. Tetap rendah hati meskipun lagu-lagunya selalu masuk dalam lima besar tangga lagu nasional.
Dari celah ruangan dan pintu yang terbuka, sinar jingga jatuh di lantai dan menerangi beberapa sudut ruangan. Orang-orang yang tersisa, satu persatu mulai pergi meninggalkan lokasi. Mereka melambaikan tangan sambil berlalu, Adagio membalas lambaian mereka sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Salah satu kebiasaan Adagio setelah manggung adalah menikmati pemandangan ketika orang-orang yang bekerja keras untuknya pergi meninggalkan lokasi. Ia melakukan kebiasaan itu untuk mengingatkan dirinya sendiri, bahwa setiap orang yang saat ini mendukungnya secara penuh, menghargai setiap karya buatannya, menjadikannya panutan, dan segala hal yang membuat nya bersinar. Pasti suatu saat akan pergi. Berganti ke bintang baru yang lebih bersinar, bintang yang mampu memuaskan hasrat mereka. Kebiasaan inilah yang membuatnya menjadi rendah hati.
Ruangan ini telah sepenuhnya sepi, ia menatap seluruh ruangan. Ia merentangkan tangan, lalu menghela napas panjang. Ia membalikkan badan dan meninggalkan tempat itu dengan tersenyum puas seraya mengucapkan terima kasih di dalam hati. Ia pulang dengan gitar tersandang di punggung. Sungguh pemadangan yang memesona bagi para kaum hawa.
Di luar, lampu jalan satu persatu mulai menyala. Para pekerja kantoran memenuhi jalanan, mereka bergegas pulang ke rumah tanpa tahu apa yang akan mereka lakukan setelah sampai. Mungkin menghabiskan waktu dengan mendengarkan berita yang telah disandiwara di layar kaca sebagai bahan obrolan di kantor esok hari. Mungkin juga langsung tidur setelah makan malam. Anak-anak juga mulai pulang kandang, takut jika ibu bapaknya mencari mereka sambil membawa rotan. Ah, situasi semacam ini mengingatkannya akan masa kecil dulu.
Gawai di kantongnya bergetar, nama Arkais muncul dengan foto mereka berdua saat liburan tiga tahun lalu di Bromo. Dia mengangkat panggilan telepon sambil melangkah keluar ruangan.
“Halo assalamulaikum Ark!” ujar Adagio dengan nada sok asik.
“Waalaikumsalam, aku tunggu 30 menit lagi ya Gi. Jika tiga puluh menit dari telpon ini mati kau belum datang. Maka akan aku kencingi gitar kesayanganmu itu,” suara Arkais terdengar kesal dari seberang sana.
“Selaww bro, kalau aku datang 15 menit lebih cepat. Kau beritahu aku soal gadis yang membuatmu jatuh cinta ya,”
“Bodo amat! Buruan datang! Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
Ia kembali menghela napas, langkahnya berhenti di depan pintu masuk gedung. Wajahnya menatap langit sore yang memamerkan tarian antara sang jingga, biru, putih, dan dibalut keremangan yang pelan-pelan memeluk seluruh bumi.
Ia menarik gas sepeda motor sport 250 cc yan dibalut warna hitam kebiruan, motor itu ia beri nama Macan Kumbang. Sebuah hadiah dari studio rekaman ketika albumnya meledak di pasaran. Macan Kumbang selalu bisa diandalkan jika Adagio sedang berkejaran dengan waktu. Jalanan sudah mulai sepi, para pekerja kantoran sebagian sudah sampai ke rumah. Anak-anak sudah selesai mandi.
Adagio sampai di lokasi tujuh menit lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Suasana kafe masih sepi, sesuai dengan peraturan pemilik kafe yang menutup sejenak kafenya saat adzan Magrib. Mereka biasanya menutup pesanan pada pukul tiga sore, agar orang-orang bisa selesai menyantap pesanan mereka sebelum Magrib tiba. Sedangkan Arkais dan Adagio adalah pengecualian dalam aturan itu.
Adagio mendapati Arkais baru selesai mengambil air wudhu, ia melambaikan tangan sebagai kode agar Arkais menunggunya agar bisa sholat berjamaah. Arkais mengacungkan jempol tangannya sambil berlalu, mengiyakan kemauan sahabat dekatnya itu. Adagio bergegas menyusul masuk ke dalam mushola, lalu tiba-tiba beriqamah. Arkais melotot, kebiasaan lama mereka yang saling dorong untuk jadi imam. Mau tidak mau Arkais menjadi imam sholat mereka sore itu.
Selesai sholat, Adagio seperti biasa mengulurkan tangan untuk bersalaman. Namun, Arkais menangkupkan tangannya di depan dada. Seperti cara bersalaman seorang muslimah kepada yang bukan mahramnya. Melihat kelakuan sahabat kecilnya itu, Adagio tertawa sambil memukul lengan dan pundak Arkais yang juga tertawa. Lalu mereka bersalaman seperti biasa.
“Masih menekuni kebiasaan lama setelah manggung Gi? Duduk memerhatikan satu persatu orang pergi meninggalkan ruangan?” ujar Arkais sinis.
“Ah kau ini Ark. Bukannya itu saran darimu? Menikmati semua momen sebelum dan sesudah aku manggung. Kau bilang hal itu akan membuat kita selalu bersyukur,” Adagio mendorong punggung Arkais.