"Alam semesta itu panggung komedi paling lucu."
Itulah kutipan terakhir dari buku yang sedang Arkais baca. Ia mengurut glabellanya.
Gadis bernama Aura itu telah lama tidak tampak di perpustakaan. Mereka belum sempat bertukar nomor ponsel atau alamat udara apapun. Ia seperti menghilang di telan sisa hujan sore itu. Arkais yang diam-diam menunggu kehadirannya mencoba mengendalikan perasaan dan pikirannya sendiri, ia tidak mau terjebak dalam persepsi atau prasangka tidak masuk akal, seperti rindu contohnya.
Sesekali matanya menatap ke arah tangga, berharap ada seorang gadis yang muncul dan melambaikan tangan ke arahnya. Sebuah kebiasaan baru yang membuatnya sulit untuk berkonsentrasi dalam menikmati buku bacaannya. Ia menghela napas, lalu membuang pandang ke arah parkiran. Tidak ada wajah gadis itu di sana, tetapi bayang-bayangnya berjalan tiada henti di pikiran Arkais. Meski begitu, perlahan wajah sang gadis mulai tersamarkan, ia pun mulai takut kehilangan wajah itu.
Arkais melihat penunjuk waktu di pergelangan tangannya, sebentar lagi perpustakaan akan tutup. Ia berkemas dan bergegas pulang, malam ini adalah malam yang besar baginya. Beberapa hari lalu Adagio memintanya untuk datang ke pertunjukkan musiknya. Adagio bilang, ia ingin memperkenalkan Arkais ke seluruh penonton. Selama ini para penggemarnya hanya tahu bahwa semua lagu Adagio ditulis oleh seorang sahabat rasa saudara yang bernama ARRE. Tidak lebih dari lima orang yang tahu bahwa ARRE adalah singkatan nama Arkais, yaitu ARkais REkata.
Adagio memberi kabar bahwa pertunjukkan musiknya akan dimulai pada pukul 20.00 WIB. Arkais sudah bersiap sejak sebelum Magrib, ia merasakan kegelisahan luar biasa. Sudah dua gelas kopi ia habiskan, sudah dua kali pula ia bergati pakaian. Bahkan ia sudah pindah lokasi duduk beberapakali.
Ia menatap dirinya di cermin yang hanya mampu menampung bagian leher ke atas saja. Dia menyipitkan matanya lalu menyisir rambut dengan jarinya.
“Arkais Rekata, apa anda sudah benar-benar siap dikenal oleh seluruh dunia?” tanyanya pada dirinya sendiri. Ia melipatkan tangannya di depan dada. “Hemm, Arkais Rekata. Anda harus keluar dari zona nyaman dan inilah waktu yang paling tepat. Anda harus membuka cakrawala baru agar tidak menjadi ikan dalam akuarium. Tapi tunggu dulu, ikan dalam akuarium atau katak dalam tempurung ya? Hemm, katak dalam tempurung sudah terlalu biasa. Ikan dalam akuarium terdengar lebih keren. Bagaimana saudara Arkais?” katanya pada dirinya sendiri sambil menaikkan sebelah alisnya.
Arkais menghela napas untuk kesekian kali. Ia menengadah, menatap langit-langit kamar. Ia memang seorang introvert, tetapi ia merasa telah melakukan sebuah gebrakan. Ia telah melakukan langkah berani yaitu berkenalan dengan orang asing minggu lalu. Napasnya tercekat, sebuah pemikiran berpijar di kepalanya. Sebuah prasangka muncul, mungkinkah gadis itu merasa tidak nyaman ketika bertemu dengannya sehingga ia memilih untuk tidak pergi ke perpustakaan lagi. Jangan-jangan gadis itu takut bertemu dengannya. Arkais merebahkan tubuhnya ke kasur, ia benar-benar menyesal atas kesadaran yang datang terlambat ini. Ia menutupi wajahnya dengan bantal, ternyata merasa tertolak lebih sakit dari segala hal yang pernah ia bayangkan.
Arkais membuang bantal yang menutupi wajahnya, ia berdiri lalu duduk di meja kerjanya. Dipandanginya buku-buku yang berjajar rapi merapat pada dinding. Ia menyambar cangkir kopi dan langsung meneguknya seperti meminum segelas es teh di siang bolong. Ia menyambar jaketnya yang tergantung di belakang pintu seraya bergumam, “tidak ada waktu untuk menjadi seorang pengecut.”
Ia menarik gas motornya menuju lokasi pertunjukkan. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kepalanya penuh dengan imajinasi tentang apa yang akan terjadi di atas panggung nanti. Bagaimana jika penggemar Adagio kecewa melihat rupanya yang pas-pasan atau bagaimana jika nanti ketika dipanggil naik ke panggung ia terpeleset lalu jatuh kemudian penyangga pelantang suara di atas panggung ikut jatuh menimpuk kepalanya. Ah, memalukan sekali rasanya. Ia juga membayangkan andai saja nanti tiba-tiba ia sakit perut atau suaranya tercekat di tenggorokan dan ia menjadi gagap. Ya Tuhan, mengerikan sekali.
Entah kenapa, Arkais merasa tiba-tiba keringat dingin membanjiri tubuhnya, membuatnya tidak nyaman. Ditambah lagi dengan angin petang yang semakin membuatnya menggigil. Ia merasa seperti seorang siswa yang tiba-tiba dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling lewat pengeras suara. Tarikan gas motornya mengendur, ia benar-benar merasa ketakutan.